Ketika
sedang menikmati keelokan cakrawala berwarna jingga, ditemani secangkir kopi susu
di teras depan rumah kontrakan, beberapa saat setelah pulang bekerja, aku
mendapatkan kabar yang mengentak jantung. Tidak perlu berpikir panjang,
langsung menuju stasiun menjumpai seseorang yang sangat berharga dalam hidup.
Tidak
sekalipun mata terpejam padahal perjalanan membutuhkan waktu empat jam, cukup
untuk mengistirahatkan tubuh, tidak bisa memungkiri hati dilanda gundah gulana mengingat
usianya sudah lanjut serta penyakit degeneratif yang mengerogotinya.
“Ayah
kamu tadi siang jatuh di kamar mandi,” ungkap Bibi Asih -adik almarhumah Ibu-
yang tinggal di sebelah rumah.
“Katanya
mau wudu, padahal azan Zuhur sejam lagi. Sudah dibujuk dari tadi tapi nggak mau
ke dokter,” lanjutnya.
“Tapi
tadi sudah diurut sama Uloh, katanya agak mendingan. Coba kamu yang bujuk,
siapa tahu mau ke dokter,” tutur Mang Dasep -suami Bibi Asih.
Azan
Isya telah berkumandang sejam yang lalu aku baru tiba di rumah, mendapati Ayah berada
di kamar ditemani sanak saudara. Tubuh ringkihnya terbaring tidak berdaya di
ranjang usang. Dengan napas tersengal-sengal dia melemparkan senyuman tulus.
Senyum yang sedari dulu kami memperolehnya, senyum yang bisa membuat hidup kami
tenang menghadapi kerasnya dunia, walaupun tanpa kekayaan berlebih, tetapi kami
mendapatkan cintanya yang berlimpah ruah.
Aku
menghampiri, tidak kuasa membendung tangisan, memeluk badannya yang semakin kurus,
padahal dua minggu yang lalu bertemu badannya tidak sekecil ini. Ada apa
denganmu, Ayah.
“Apa
kabarmu, Dyah? Sehat, Nak?” tanyanya sambil mengelus rambutku lembut.
“Ayah
tidak apa-apa, Nak, tidak perlu ke dokter.”
“Ayah
hanya terkilir saja,” dalihnya.
“Kalau
Ayah tidak mau ke dokter, tinggal dengan Dyah, ya, Ayah?” bujukku.
“Lalu
meninggalkan rumah ini dalam keadaan kosong?” lirihnya.
“Tidak,
Dyah.”
“Ayah
tidak mau berpisah dengan Ibumu meskipun sekejap,” ucapnya sendu dengan
mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Kami
yang sedang berkumpul saling memandang, sudah hapal betul karakter Ayah yang teguh
pendirian.
“Biarkan
Ayahmu istirahat dulu, Dyah,” ucap Mang Dasep.
Aku
tidak beranjak, meninggalkan Ayah sendirian sungguh tak sampai hati.
“Ayah,
mau Dyah bacakan buku atau mau dipijat?” tawarku sambil membetulkan letak
selimut.
“Buku
saja,” jawabnya pelan.
“Bukunya
di samping sajadah, Dyah,” tunjuknya.
Aku
menuju ke meja kecil dekat lemari, di sana terdapat peralatan Salat, mushaf Al-Qur’an,
dan novel terjemahan Gone With The Wind -novel favorit mereka- yang
sering dibaca bersama almarhumah Ibu. Aku mulai membaca, sesekali menoleh ke
arahnya, terlihat matanya berkaca-kaca, tidak ingin membuatnya bersedih, aku berhenti.
“Kenapa
berhenti, Dyah?”
“Dyah
tidak mau Ayah bersedih lagi.”
“Ayah
tidak sedih, Dyah. Biarkan Ayah mengenang Ibumu.”
Aku
melanjutkan membaca tak kuasa menolak permintaannya meskipun hati enggan karena
itu hanya akan membuat Ayah berduka terus. Pada halaman tiga puluh matanya
perlahan mulai terpejam tidak lama kemudian dengkuran halus terdengar. Aku
mencium keningnya, membetulkan selimutnya lagi, merapalkan do’a agar masa
berkabungnya cepat berlalu.
Seorang
lelaki turun bersama Ibu dari motor bebek warna merah di depan pagar. Aku meneliti
penampilannya yang sangat jauh jika dibandingkan dengan Bapak. Bapak
berperawakan tinggi tegap, berkulit putih, berpenampilan rapi, rambut hitam
selalu klimis, serta jam tangan mewah menambah kesempurnaan. Sedangkan lelaki ini berperawakan tinggi kurus,
rambut sedikit bergelombang, berkulit gelap, baju lengan panjang ditambah jaket
membuat siapa pun yang melihatnya berasa gerah.
Ibu
memperkenalkannya sebagai teman sekolah sewaktu SMP. Lelaki itu duduk dengan
kikuk berhadapan denganku, kepalanya terlalu banyak menunduk, jari jemari
tangannya saling meremas, sesekali bertanya, tetapi pertanyaan yang membosankan,
tidak seperti Bapak yang pandai melucu.
“Dyah
sekarang sudah SMP, ya?” tanyanya.
“Ya,”
ketusku dengan mendelik. Lalu dia diam dan menunduk lagi, lelaki yang aneh.
Tepat
hitungan empat bulan sejak kami berdua pindah ke kampung halaman Ibu di Pangalengan,
kami mendapat kabar bahwa Bapak telah menikah lagi dengan rekan kerjanya.
Seharian Ibu mengurung diri di kamar, meskipun tertutup rapat pintunya tetapi
aku dapat mendengar lirih suara tangisan Ibu. Berminggu-minggu aku seperti anak
ayam yang kehilangan induknya, Bapak yang tengah bereuforia bersama istri
barunya hingga lupa ada seorang anak yang memendam rindu, selalu menunggu
dering telepon darinya, Ibu yang terlalu larut dalam kekecewaan, padahal aku
pun tak kalah sakitnya.
Suatu
hari di musim penghujan dua minggu menjelang ujian tengah semester, Ibu pulang
bersama lelaki aneh itu lagi. Tanpa menghiraukan pakaiannya yang basah kuyup, Ibu
sekonyong-konyong menghardikku, meskipun aku tidak dapat mengira kemarahannya
kali ini begitu besar, tetapi aku bisa menebak alasannya, orang tua mana yang
tidak akan murka mendapati laporan dari sekolah tentang kenakalan anaknya. Berapa
puluh jam aku ditelantarkan, tidak mendapatkan lagi kehangatan darinya. Ibu
ingin aku mengerti keadaan yang tak lagi sama, Ibu lupa aku pun ingin
dimengerti. Sungguh egois. Entah keberanian darimana aku menatap balik dengan lancang
menantang sampai mana keegoisan Ibu, hampir saja tangannya mendarat di wajahku kalau
tidak dicegah oleh lelaki aneh itu.
“Dyah,
masuk ke kamar dulu, ya, Sayang!” ujar lelaki aneh dengan lembut.
Perlahan
tapi pasti rasa kecewa mulai terkikis, keberadaan lelaki aneh telah mengubah
segalanya. Dia tipe lelaki yang pantang menyerah, selalu mengajak mengobrol di setiap
kali bertemu padahal sahutanku hanya kata ‘hm’. Diawali rasa enggan berbicara
kemudian berubah menjadi suka berbicara, hingga akhirnya tidak ada satu hari
pun aku bercerita padanya, ternyata lelaki aneh adalah teman curhat yang paling
nyaman.
Enam
purnama semenjak Bapak memiliki kehidupan baru, aku dan Ibu memiliki kehidupan
baru juga bersama lelaki aneh yang sekarang kupanggil Ayah … Ayah Aulian.
“Arimbi
….” Ayah mengigau memanggil nama Ibu.
“Ini
Dyah, Ayah.” Aku mengenggam tangan keriputnya, tangan yang sering mengelus
kepalaku lembut, bibirnya yang sering mengucap do’a ‘Robbi Habli Minassholihin’
di ubun-ubun lalu meniupnya, hingga aku sudah dewasa kebiasaan itu tidak pernah
hilang.
“Arimbi,
Neng ….” Panggilan sayang Ayah untuk Ibu.
Enam
bulan setelah menikah, Ibu divonis dokter memiliki tumor dan harus kehilangan
identitas kebanggaan seorang wanita, Ibu tidak akan pernah bisa mengandung.
“Aku
menikahimu bukan karena ingin punya anak semata, aku memang mencintaimu sedari
dulu. Sudah ada anak kita jika kamu lupa, Dyah Pitaloka, itu sudah lebih dari
cukup buatku,” ucap Ayah menenangkan Ibu.
Ayah
rela berhenti kerja di kota Bandung pindah ke Pangalengan merintis usaha yang
digemari Ibu, yaitu bunga karena khawatir Ibu terlalu terbenam lagi dalam luka.
Ayah
tidak berharta seperti Bapak, tetapi aku bisa melihat cinta yang besar untuk
Ibu. Jika sore atau malam hari, Ayah membuatkan teh melati panas untuk Ibu,
duduk di kursi rotan terkadang membaca novel atau hanya berbincang tak lupa
selalu ada sekuntum bunga di atas meja, tangan mereka saling menggenggam erat sebagai
tanda dalamnya ikatan cinta.
“Kenapa
bunga mawar kuning?” tanya Ibu.
“Iya,
sebagai tanda syukur, rahmat, dan kegembiraan,” jawab Ayah.
“Syukur
berterima kasih sama Allah karena cinta pertamaku akhirnya bisa kumiliki,
rahmat karena kalian berdua merupakan anugerah untukku, kegembiaraan karena
hidupku kini bahagia bersama kalian,” lanjut Ayah.
“Aku
yang seharusnya berkata itu untukmu,” ujar Ibu.
Ayah
yang tidak pandai melucu seperti Bapak, tetapi Ayah merupakan sahabat yang
baik, pendengar setia segala keluh kesahku, guru bijak ketika aku dirundung masalah,
seorang imam yang selalu mengingatkan kewajibanku sebagai muslimah, seorang
pemimpin cerdas.
Adagium
menyatakan darah lebih kental daripada air, ikatan keluarga lebih kuat daripada
orang lain, meskipun tidak ada setetes darah pun yang sama dengan Ayah mengalir
di tubuhku, tetapi ikatan kami sangat kuat bukan karena darah melainkan hati.
Oleh: Neng Sri
No comments:
Post a Comment