Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Monday, 16 August 2021

Tentang Ayah



Ketika sedang menikmati keelokan cakrawala berwarna jingga, ditemani secangkir kopi susu di teras depan rumah kontrakan, beberapa saat setelah pulang bekerja, aku mendapatkan kabar yang mengentak jantung. Tidak perlu berpikir panjang, langsung menuju stasiun menjumpai seseorang yang sangat berharga dalam hidup. 

 

Tidak sekalipun mata terpejam padahal perjalanan membutuhkan waktu empat jam, cukup untuk mengistirahatkan tubuh, tidak bisa memungkiri hati dilanda gundah gulana mengingat usianya sudah lanjut serta penyakit degeneratif yang mengerogotinya.

 

“Ayah kamu tadi siang jatuh di kamar mandi,” ungkap Bibi Asih -adik almarhumah Ibu- yang tinggal di sebelah rumah.

 

“Katanya mau wudu, padahal azan Zuhur sejam lagi. Sudah dibujuk dari tadi tapi nggak mau ke dokter,” lanjutnya.

 

“Tapi tadi sudah diurut sama Uloh, katanya agak mendingan. Coba kamu yang bujuk, siapa tahu mau ke dokter,” tutur Mang Dasep -suami Bibi Asih.

 

Azan Isya telah berkumandang sejam yang lalu aku baru tiba di rumah, mendapati Ayah berada di kamar ditemani sanak saudara. Tubuh ringkihnya terbaring tidak berdaya di ranjang usang. Dengan napas tersengal-sengal dia melemparkan senyuman tulus. Senyum yang sedari dulu kami memperolehnya, senyum yang bisa membuat hidup kami tenang menghadapi kerasnya dunia, walaupun tanpa kekayaan berlebih, tetapi kami mendapatkan cintanya yang berlimpah ruah.

 

Aku menghampiri, tidak kuasa membendung tangisan, memeluk badannya yang semakin kurus, padahal dua minggu yang lalu bertemu badannya tidak sekecil ini. Ada apa denganmu, Ayah.

 

“Apa kabarmu, Dyah? Sehat, Nak?” tanyanya sambil mengelus rambutku lembut.

 

“Ayah tidak apa-apa, Nak, tidak perlu ke dokter.”

 

“Ayah hanya terkilir saja,” dalihnya.

 

“Kalau Ayah tidak mau ke dokter, tinggal dengan Dyah, ya, Ayah?” bujukku.

 

“Lalu meninggalkan rumah ini dalam keadaan kosong?” lirihnya.

 

“Tidak, Dyah.”

 

“Ayah tidak mau berpisah dengan Ibumu meskipun sekejap,” ucapnya sendu dengan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

 

Kami yang sedang berkumpul saling memandang, sudah hapal betul karakter Ayah yang teguh pendirian.

 

“Biarkan Ayahmu istirahat dulu, Dyah,” ucap Mang Dasep.

 

Aku tidak beranjak, meninggalkan Ayah sendirian sungguh tak sampai hati.

 

“Ayah, mau Dyah bacakan buku atau mau dipijat?” tawarku sambil membetulkan letak selimut.

 

“Buku saja,” jawabnya pelan.

 

“Bukunya di samping sajadah, Dyah,” tunjuknya.

 

Aku menuju ke meja kecil dekat lemari, di sana terdapat peralatan Salat, mushaf Al-Qur’an, dan novel terjemahan Gone With The Wind -novel favorit mereka- yang sering dibaca bersama almarhumah Ibu. Aku mulai membaca, sesekali menoleh ke arahnya, terlihat matanya berkaca-kaca, tidak ingin membuatnya bersedih, aku berhenti.

 

“Kenapa berhenti, Dyah?”

 

“Dyah tidak mau Ayah bersedih lagi.”

 

“Ayah tidak sedih, Dyah. Biarkan Ayah mengenang Ibumu.”

 

Aku melanjutkan membaca tak kuasa menolak permintaannya meskipun hati enggan karena itu hanya akan membuat Ayah berduka terus. Pada halaman tiga puluh matanya perlahan mulai terpejam tidak lama kemudian dengkuran halus terdengar. Aku mencium keningnya, membetulkan selimutnya lagi, merapalkan do’a agar masa berkabungnya cepat berlalu.

 

Seorang lelaki turun bersama Ibu dari motor bebek warna merah di depan pagar. Aku meneliti penampilannya yang sangat jauh jika dibandingkan dengan Bapak. Bapak berperawakan tinggi tegap, berkulit putih, berpenampilan rapi, rambut hitam selalu klimis, serta jam tangan mewah menambah kesempurnaan.  Sedangkan lelaki ini berperawakan tinggi kurus, rambut sedikit bergelombang, berkulit gelap, baju lengan panjang ditambah jaket membuat siapa pun yang melihatnya berasa gerah.

 

Ibu memperkenalkannya sebagai teman sekolah sewaktu SMP. Lelaki itu duduk dengan kikuk berhadapan denganku, kepalanya terlalu banyak menunduk, jari jemari tangannya saling meremas, sesekali bertanya, tetapi pertanyaan yang membosankan, tidak seperti Bapak yang pandai melucu.

 

“Dyah sekarang sudah SMP, ya?” tanyanya.

 

“Ya,” ketusku dengan mendelik. Lalu dia diam dan menunduk lagi, lelaki yang aneh.

 

Tepat hitungan empat bulan sejak kami berdua pindah ke kampung halaman Ibu di Pangalengan, kami mendapat kabar bahwa Bapak telah menikah lagi dengan rekan kerjanya. Seharian Ibu mengurung diri di kamar, meskipun tertutup rapat pintunya tetapi aku dapat mendengar lirih suara tangisan Ibu. Berminggu-minggu aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Bapak yang tengah bereuforia bersama istri barunya hingga lupa ada seorang anak yang memendam rindu, selalu menunggu dering telepon darinya, Ibu yang terlalu larut dalam kekecewaan, padahal aku pun tak kalah sakitnya.

 

Suatu hari di musim penghujan dua minggu menjelang ujian tengah semester, Ibu pulang bersama lelaki aneh itu lagi. Tanpa menghiraukan pakaiannya yang basah kuyup, Ibu sekonyong-konyong menghardikku, meskipun aku tidak dapat mengira kemarahannya kali ini begitu besar, tetapi aku bisa menebak alasannya, orang tua mana yang tidak akan murka mendapati laporan dari sekolah tentang kenakalan anaknya. Berapa puluh jam aku ditelantarkan, tidak mendapatkan lagi kehangatan darinya. Ibu ingin aku mengerti keadaan yang tak lagi sama, Ibu lupa aku pun ingin dimengerti. Sungguh egois. Entah keberanian darimana aku menatap balik dengan lancang menantang sampai mana keegoisan Ibu, hampir saja tangannya mendarat di wajahku kalau tidak dicegah oleh lelaki aneh itu.

 

“Dyah, masuk ke kamar dulu, ya, Sayang!” ujar lelaki aneh dengan lembut.

 

Perlahan tapi pasti rasa kecewa mulai terkikis, keberadaan lelaki aneh telah mengubah segalanya. Dia tipe lelaki yang pantang menyerah, selalu mengajak mengobrol di setiap kali bertemu padahal sahutanku hanya kata ‘hm’. Diawali rasa enggan berbicara kemudian berubah menjadi suka berbicara, hingga akhirnya tidak ada satu hari pun aku bercerita padanya, ternyata lelaki aneh adalah teman curhat yang paling nyaman.

 

Enam purnama semenjak Bapak memiliki kehidupan baru, aku dan Ibu memiliki kehidupan baru juga bersama lelaki aneh yang sekarang kupanggil Ayah … Ayah Aulian.

 

“Arimbi ….” Ayah mengigau memanggil nama Ibu.

 

“Ini Dyah, Ayah.” Aku mengenggam tangan keriputnya, tangan yang sering mengelus kepalaku lembut, bibirnya yang sering mengucap do’a ‘Robbi Habli Minassholihin’ di ubun-ubun lalu meniupnya, hingga aku sudah dewasa kebiasaan itu tidak pernah hilang.

 

“Arimbi, Neng ….” Panggilan sayang Ayah untuk Ibu.

 

Enam bulan setelah menikah, Ibu divonis dokter memiliki tumor dan harus kehilangan identitas kebanggaan seorang wanita, Ibu tidak akan pernah bisa mengandung.

 

“Aku menikahimu bukan karena ingin punya anak semata, aku memang mencintaimu sedari dulu. Sudah ada anak kita jika kamu lupa, Dyah Pitaloka, itu sudah lebih dari cukup buatku,” ucap Ayah menenangkan Ibu.

 

Ayah rela berhenti kerja di kota Bandung pindah ke Pangalengan merintis usaha yang digemari Ibu, yaitu bunga karena khawatir Ibu terlalu terbenam lagi dalam luka.

 

Ayah tidak berharta seperti Bapak, tetapi aku bisa melihat cinta yang besar untuk Ibu. Jika sore atau malam hari, Ayah membuatkan teh melati panas untuk Ibu, duduk di kursi rotan terkadang membaca novel atau hanya berbincang tak lupa selalu ada sekuntum bunga di atas meja, tangan mereka saling menggenggam erat sebagai tanda dalamnya ikatan cinta.

 

“Kenapa bunga mawar kuning?” tanya Ibu.

 

“Iya, sebagai tanda syukur, rahmat, dan kegembiraan,” jawab Ayah.

 

“Syukur berterima kasih sama Allah karena cinta pertamaku akhirnya bisa kumiliki, rahmat karena kalian berdua merupakan anugerah untukku, kegembiaraan karena hidupku kini bahagia bersama kalian,” lanjut Ayah.

 

“Aku yang seharusnya berkata itu untukmu,” ujar Ibu.

 

Ayah yang tidak pandai melucu seperti Bapak, tetapi Ayah merupakan sahabat yang baik, pendengar setia segala keluh kesahku, guru bijak ketika aku dirundung masalah, seorang imam yang selalu mengingatkan kewajibanku sebagai muslimah, seorang pemimpin cerdas.

 


Jika Ayah bisa berkorban banyak untuk kami, kenapa aku tidak? Ayah yang kesepian setelah ditinggalkan belahan jiwa meskipun sudah dua tahun berlalu tapi duka itu masih terlihat. Besok aku akan mengajukan resign pindah ke Pangalengan menemani Ayah meneruskan usaha pemasok untuk toko-toko bunga.

 

Adagium menyatakan darah lebih kental daripada air, ikatan keluarga lebih kuat daripada orang lain, meskipun tidak ada setetes darah pun yang sama dengan Ayah mengalir di tubuhku, tetapi ikatan kami sangat kuat bukan karena darah melainkan hati.



Oleh: Neng Sri

No comments:

Post a Comment