Aku
tahu mengapa kau memilih pantai ini. Meskipun jarak yang harus ditempuh lebih
lama jika dibandingkan dengan pantai lain. Namun, tak mengapa sejauh apapun kau
ingin melangkah aku akan tetap disampingmu.
Kau
berlari kecil ke bibir pantai, binar matamu terpancar seketika, dengan senyum
yang tersungging dari bibirmu. Aku berjalan pelan kearahmu, memperhatikan
setiap gerak tubuhmu, rambut panjang hitammu tergerai hingga pinggang,
terayun-ayun tertiup angin, kaki jenjangmu dibalut celana panjang biru wardah,
dibiarkan tersentuh air laut, aku bahkan tahu alasan kau memakai warna itu, kau
menginginkannya dan kau sangat menikmatinya. Melihatmu bahagia itulah janjiku
padamu dan aku tahu kamu membutuhkan pantai ini, meskipun itu membuat hatiku
teriris sembilu.
Kau
berbalik ke belakang, memandangku sejenak, dapat kutemukan sinar wajahmu meredup.
Lalu kau melangkah maju membiarkan lututmu terjamah ombak. Melihat itu, dadaku
berdegup kencang, aku berlari lalu mendekap erat tubuhmu dari belakang.
“Cukup,
jangan melangkah lagi!”
“Maaf.”
“Jangan
membuatku khawatir lagi.”
“Maaf.”
“Jangan
lagi ucapkan kata itu!”
“Iya.”
“Aku
sudah kenyang dengan kata ‘maaf’.”
“Apa
kau tidak lelah dengan tingkahku?”
“Tidak
akan pernah ada kata lelah denganmu.”
“Aku
perlu waktu lagi, apa kau tidak keberatan?”
“Ambil
waktumu sebanyak yang kau mau, dan kupastikan aku tidak akan beranjak darimu.”
-----
Sudah
hitungan enam purnama kau berpisah dengannya, aku pikir kehadiranku mampu
menghapus mendung di hidupmu tapi sepertinya lara itu masih tersisa. Besok hari
Sabtu, aku punya rencana indah untuk kita nanti, karena hari ini aku mendapkan
bonus dari atasan, dan kau juga tidak ada jadwal mengajar. Keluar dari ruang
atasan, tak sabar untuk menyampaikan berita gembira, baru saja aku meronggoh gawai
dari saku, tapi kau sudah meneleponku dahulu. Mungkin kita sudah sehati, pikirku, aku angkat panggilan darinya
dengan girang hati.
“Na
….”
“Hei,
aku baru saja mau meneleponmu.”
“Na
….”
“Wi,
nanti Sabtu kita ke Lembang, yuk! Aku dapet bonus nih, kata kamu pengen wisata
kuliner sekitaran Lembang. Kamu nggak ada kegiatan di sekolah, kan?”
“Na
….”
“Nanti
aku jemput ke rumah sekitar sore, ya! Soalnya pagi aku ada meeting dengan klien
sampai siang.”
“Na
….”
“Iya,
Wi, bisa, kan?”
“Na
… dia balik lagi.”
Hati
yang penuh suka cita terhempas seketika, entah karena aku tengah euforia hingga
tak peka terhadap suara sendunya dari tadi.
“Terus?”
Aku
hempaskan tubuh di kursi kerja, kulonggarkan dasi yang sedari pagi menyempurnakan
penampilan, padahal dasi ini pemberian darinya –favoritku-, tapi sekarang dasi
ini sedang mencekik leherku.
“Aku
… aku bingung, Na. Dia janji nggak akan mengulang lagi kesalahannya.”
“Dan
kamu percaya?”
“Hatiku
masih terisi olehnya, Na.”
“Baik,
jika itu sudah keputusannmu, aku tak akan memaksa. Hati nggak bisa dipaksa, Wi,
dan aku bukan pemaksa.”
Jalan
Braga hari ini terlihat cerah, dari lantai lima gedung ini, dapat kulihat lalu
lalang kendaraan. Sebagian besar pekerja di sini hari Sabtu libur, aku yakin
setiap orang yang memiliki pasangan ingin memberikan quality time-nya dengan
orang terkasihnya, begitu pun aku, tapi siapa sangka laju hidup satu jam
kedepan tak ada yang tahu, manusia hanya punya rencana.
Aku
meraup muka dengan kasar, mungkin aku laki-laki yang terbilang bodoh karena terlalu
banyak mengambil resiko, peluang besar patah hati sangat tinggi mengingat
hubungan mereka sudah terjalin sejak berseragam putih biru. Aku yang terlalu naif, ingin menjadi seorang
kesatria berbaju putih dengan menunggang kuda putih lalu menyelamatkan sang
putri yang sedang merana. Tapi inilah namanya cinta, aku sendiri sukar untuk
mengartikannya, yang aku inginkan, dia bahagia meskipun itu bukan denganku.
-----
Berminggu-minggu
aku sibukan dengan setumpuk pekerjaan, tak ada waktu untuk libur, semua akses
yang terhubung dengannya aku tutup demi otakku agar tak terlalu mengingat akan
dirinya. Aku mencoba perlahan melepaskannya meskipun itu sulit, memberikan dia
waktu lebih lama lagi, sampai dia mengatakan ‘berhenti’, maka aku akan berhenti
memberikannya waktu. Aku tak ingin kehadiranku menjadi beban untuknya. Biarlah
hatinya menuntun kepada siapa dia akan berlabuh.
Hari
ini aku pulang ke Bandung setelah seminggu melaksanakan tugas luar ke Surabaya.
Memilih jalur transportasi kereta api, karena menurutku lebih rileks meskipun
membutuhkan waktu yang lebih lama dibadingkan menggunakan transportasi udara.
Aku
meminta adikku untuk menjemput, di stasiun Kiara Condong, rencana ingin
langsung jalan-jalan ke BSM siapa tahu ada film yang kusuka. Barang bawaanku
lumayan banyak satu koper pakaian, dan berkas-berkas kerja, satu tas besar
berisi buah tangan untuk keluarga dan teman kantor, satu lagi tas laptop. Aku
edarkan pandangan mencari sesosok adik bungsuku, namun yang kudapati dirinya.
Mataku menyipit, mempertegas penglihatan, seorang wanita dengan memakai gaun
berwarna merah marun –warna kesukaanku- sedang berjalan kearahku. Aku menoleh
ke kanan ke kiri ke belakang jangan-jangan ada lelaki yang sedang menunggunya
dibalik badanku. Dia memberikan senyuman, ragu aku membalasnya, dia membalas
senyumku dengan terkembang, maka aku pun tak ragu lagi untuk memberikan senyuman
lebih.
Pada
jarak tiga langkah di langsung memelukku, sambil terisak.
“Maafkan,
aku.”
“Sudah
kubilang jangan ada kata maaf lagi!”
“Aku
tahu apa yang kubutuhkan sekarang.”
“Apa?”
Kepalanya
mendongkak, kami saling menatap, ada kesungguhan di matanya.
“Kamu.”
Aku
pun tersenyum lalu memeluknya erat, menghidu aroma rambutnya yang kurindu …
wanitaku.
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment