Dalam setiap ada kesempatan, kamu selalu antusias mengajak bicara, mengenalkan tentang dunia yang digelutimu. Layaknya seorang dosen yang akan mengajar, kamu membuat jadwal sendiri tentang hal apa yang akan dikenalkan nanti, sungguh lucu.
“Suatu
kebanggaan jika ada yang mengikuti jejakku.” Alasanmu.
Aku
ingat, pertama kali kamu memperkenalkan tentang Pascal, bahasa yang telah
membuatmu jatuh cinta dan terperosok lebih dalam lagi pada dunia pemograman. Aku
tidak tertarik pada obrolanmu, otakku terlalu sulit mencerna. Aku lebih
tertarik dengan binar mata dan senyuman di bibirmu sepanjang kamu berbicara, wajah
penuh kelembutan, dengan rambut hitam legam sedikit bergelombang yang tak pernah
bosan aku mainkan. Aku selalu terpesona karenamu.
Kamu
yang katanya sudah jatuh hati sejak aku memakai seragam putih biru, semenjak
itu kamu berjanji akan menjadikanku sebagai tempat untuk pulang.
“Kamu
adalah tempat aku pulang, rumahku, tempat tinggalku yang teduh dan damai.”
“Yakin
aku akan menjadi wanitamu?”
“Karena
aku sudah meminta pada Tuhan pemilik Arasy.”
“Bagaimana
jika Tuhan tidak mengabulkan?”
“Aku
percaya takdir itu selalu baik, apapaun yang terjadi kita harus berbaik sangka,
bukankah prasangka Allah seperti apa yang hambanya sangkakan?”
Suatu
hari ketika aku sedang di belakang mengurusi kebun kecil bunga kita, kau datang
dengan berteriak memanggilku, aku tergopoh menyambutmu.
“Ah,
sayang, syukurlah kamu tidak apa-apa.” Kamu mendekap erat dengan terus mencium
seluruh wajahku.
“Ada
apa?”
“Tadi
dapat berita dari grup katanya ada perampokan siang bolong, aku khawatir.”
“Jangan
takut aku bukan anak sekolahan lagi.”
Bagaimana
bisa aku tidak menjatuhkan hatiku padamu, kamu memperlakukannku laksana kristal
kaca yang takut pecah. Kamu adalah cinta pertamaku, pun aku adalah cinta
pertamamu, sangat indah bukan.
Kini
kamu seperti bintang di langit nun jauh sana,
aku tak kan pernah bisa menggapimu meskipun menaiki seribu tangga.
Aku
yang masih sama dengan rasa yang masih bertahta, tak sediki pun rasaku bergeser
walau sesenti, aku selalu ada dekatmu walau kau sendiri tak menyadari
kehadiranku, bukankah kamu sendiri yang meminta agar aku jangan pernah
meninggalkanmu walau sedetik pun, aku memenuhi janjiku, bukan?
Mengapa
kau hadirkan wanita lain di antara kita, bukankah kau sudah berjanji akulah
wanita satu-satunya yang ada dalam hidupmu. Mengapa wanita itu sering
bertandang ke rumah impian kita, rumah yang aku sendiri merancangnya, rumah
minimalis dengan cat warna dominan putih tanda suci cinta kita. Kamu duduk
bersamanya layaknya sebuah keluarga kecil bahagia, di belakang kebun bunga
kecil yang aku tanami sendiri, duduk bersama di bangku panjang warna putih, dengan
memandang warna langit jingga sore hari,
persis seperti kamu dan aku lakukan dulu. Apakah wanita itu mendapatkan cerita
yang sama denganku? Mengapa kau bisa cepat beralih sementara aku masih di sini
terpenjara.
Satu
hari aku melihatmu, memohon pada wanita itu untuk tinggal, aku melihat
bayanganku dulu ketika aku marah dan kau merayuku sedemikin rupa hingga
akhirnya hati ku pun luluh, lalu besoknya aku mendapatkan sekuntum bunga tulip
putih, simbol dari ketulusan,
kemurnian, harapan dan pengampunan, ah, sungguh manis perlakuanmu,
apakah wanita itu juga akan mendapatkan bunga tulip putih juga?
Hari
ini kamu dan wanita itu datang ke tempatku, kamu menggenggam bunga lily putih,
menggambarkan kemurnian cinta sejati, tanda kesetiaan, sedangkan wanita itu
memegang bunga mawar kuning sebagai tanda persahabatan.
“Teteh,
aku membawakanmu bunga mawar kuning, Teteh sudah pasti tahu artinya, iya, kan?”
Tentu
saja aku tahu, aku memiliki toko bunga, mengapa kau memintaku sebagai sahabat,
sedangkan jelas nyata kamu duduk berdampingan dengan lelakiku, mana bisa aku
menerimamu.
“Teteh,
aku tidak akan pernah bisa menggantikan peranmu, posisimu terlalu kuat untuk
aku ambil alih. Aku hanya akan meneruskan peranmu untuk Pascal bukan untuk
menggantikan. Ijinkan aku merawatnya, sudah terlalu lama anak manis itu
sendirian, karena papa terlalu larut dalam duka.”
Wanita
itu meletakkan bunga tepat di atas, dengan mengucapkan kalimat syahdu dengan
mata tertutup, suasana menjadi sangat tenang dan damai, terlihat jelas aura berserah,
mungkin aku terlalu buruk sangka padanya. Kamu pun menunduk menghayati setiap
kalimatnya, mengamini setiap kata yang diucapkannya. Lalu diakhiri kata
‘aamiinn’ terlihat wajah sendumu yang selama ini terlukis, air di pelupuk
matamu pun akhirnya jatuh, ingin aku merengkuhmu, menghapus jejak air mata mu,
tapi aku tak bisa, kita tidak lagi sama.
“Aku
tinggalkan kalian berdua,” ujar wanita itu.
Kini
kita berdua, seperti dulu, betapa aku merindukan saat seperti ini, melihatmu
dalam jarak dekat, lelaki yang telah membuat irama hidupku lebih berbunga.
“Sayang,
aku datang dengan bunga kesukaanmu, bunga kesukaanku juga.”
Iya,
bunga itu menjadi bunga pertama yang kamu berikan padaku, bunga yang kamu pakai
ketika melamarku, aku pasti selalu mengingatnya.
“Honey,
kata orang-orang terlalu lama aku mementingan perasaanku, lima tahun aku
bertahan sendiri tanpa berpikir bahwa ada Pascal, anak kita butuh perhatian lebih,
ijinkan Pascal mendapatkan sentuhan belai kasih seorang ibu.”
Aku
mengerti, Sayang, Pascal buah cinta kita, nama yang sama yang membuatmu pertama
kali jatuh cinta, setelah tiga tahun lamanya menanti kehadirannya, tanggal
lahirnya tertulis sama dengan tanggal pada nisanku, aku mencintai kalian, tentu
saja Pascal membutuhkan kasih sayang seorang ibu yang tidak bisa aku berikan,
“Sweety,
kamu cinta pertamaku, selamanya tak akan ada yang menggantikan, karena jiwaku
pun ikut terkubur bersamamu, kamu akan selalu menjadi rumahku selamanya.”
Aku
tahu sayang, cintamu padaku terlalu dalam, tidak salah kiranya aku menjadikanmu
lelaki terbaikku, tapi kau begitu cengeng, jangan menangis terus, sayang.
“Istriku,
aku dulu pernah berkata bahwa takdir itu selalu baik, semenjak kau pergi aku
lupa kata-kata itu, aku merutuki takdir yang membuat jarak diantara kita
terbentang jauh, menyalahkan kehadirannya. Hingga aku tersadar melihat bening
bola mata anak kita, aku seperti melihatmu, dia memanggilku ‘papa’, aku tahu kau
sebenarnya tak pernah meninggalkanku, maafkan aku yang terlalu egois, memintamu
untuk tetap bersamaku, aku terlalu lama memasungmu.”
“Sudah
saatnya aku melepasmu ikhlas, akan ku ceritakan padanya bahwa ada seorang
wanita penyuka bunga yang dari umur belasan tahun sudah menarik hati, membuat
papanya terbenam dalam cinta yang dalam hingga waktu yang tak terhingga, seorang
ibu hebat yang rela melepas nyawanya demi hadirnya cinta baru.”
Oh,
suamiku sayang aku melepasmu juga, sudah cukup lama kamu berkubang dalam duka,
jika kamu mencintaiku kirimkan aku untaian doa di setiap sujudmu, aku menunggu
kalian berdua.
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment