Pada
suatu hari ….
“Hai,
sstt … denger-denger hari ini bakalan datang siswa baru, lho, Cha, pindahan
dari Subang.” Baru datang ke kelas Hira sudah nyerocos padahal bokongnya saja
belum nempel ke kursi. Aku yang sedang menyuap sarapan yang belum kelar dari
rumah langsung tersedak.
“Bikin
kaget aja! Dapet dari mana infonya? Akurat?” tanyaku sambil menyeruput minuman
dari botol tumbler.
“So
pasti, akoh gitu, lho. Terdepan dan terpercaya dalam berita.” Bangganya.
“Kamu
nggak sarapan di rumah?” Lanjutnya sambil ikut mencomot nugget.
“Sarapan,
cuma tadi belum tamat keburu dipanggil ayah. Sayang, kan, mubazir kalau nggak
di habisin.” Hira mengambil lagi nugget dari kotak bekalku.
“Em
… emang, ya, masakan bunda kamu top bgt, lah. Pantesan anaknya subur.”
“Subur
juga cantiknya ngalahin cewek idaman sekolah.”
“Yups,
setuju, Ulfa cantik tapi kamu manis, makanya aku nggak malu jalan bareng tapi
sayang kamu payah matematika, jadi tetep skor satu buat Ulfa.” Ulfa adalah anak
IPA yang katanya kecerdasan dan cantiknya mirip artis yang lulus kuliah S2 di
universitas negeri paman sam.
“Dasar,
temen nggak ada ahlak.”
“Kamu
kalau lihat dia pasti bakalan melongo, Cha.”
“Nggak
akan, Hira!”
“Kita
lihat saja. Taruhan.”
“Nggak
boleh itu.”
“Cuma
taruhan nugget doang. Kalau kamu ternyata terpesona sama itu orang, aku minta
nugget bunda kamu sampai kita lulus.”
“Lama
amat, Hira. Kalau aku memang nggak suka?”
“Ya
… tetep aja nuggetnya buatku.”
“Dasar
curang.”
Lalu
tiba saatnya anak baru masuk ke kelas didampingi ibu Resa wali kelas kami. God
… he is … apa, ya, gambaran pas untuknya, renyah? Ah bukan, memangnya dia kerupuk?
Aku bayangin seperti makan kue egg roll,
renyah pas digigit, manisnya nggak kebangetan di mulut … duh aku kenapa jadi
ingat makanan sih, masa orang cakep di samain kue? Ini gara-gara bunda yang
suka bikin kue egg roll. But … realy dia cakep bukan kaya opa-opa Korea yang
putih klimis, ini sih cowok Indonesia banget.
Dari
samping dapat kurasakan Hira sedang mengamati, dia mulai menyenggol-nyenggol dengan
sikunya.
“Iya
kan?” Dengan menurun naikan alis matanya, ck … menyebalkan.
“Nggak,
kulitnya juga lebih hitam dariku, apanya yang istimewa, B aja.”
“Tapi
aku tadi liatin, matamu nggak kedip lima belas detik, lho. Lama itu, Icha.”
“Paan,
sih! Sempet-sempetnya ngitung kedipan, serah, deh,” sungutku.
Rasi
namanya pindah ke Bandung karena bapaknya mutasi kerja, orangnya nggak
ngebosenin kalau dipandang, betah aja gitu liatnya. Dapet duduk paling belakang
karena yang tersisa tinggal itu tapi untungnya sebaris denganku, eh … kok
untung? Plak! Aku pukul kedua pipi, pikiranku mulai ngelantur, fokus, fokus
belajar Icha jangan mulai. Duh … kenapa aku dikit-dikit pengen nengok ke
belakang, ya? Tahan Icha, tahan, jangan sampai bualan Hira itu benar!
Suatu
hari, pada hari Rabu yang mata pelajaran Matematikanya empat jam langsung tanpa
jeda -bisa bayangkan betapa tersiksanya aku- kami disuruh bikin kelompok dan
memang takdir itu indah aku yang payah soal hitungan sekelompok dengannya yang
jago matematika, Tuhan terima kasih.
Bangku dua dirapatkan kami berlima Rasi, Zaki,
Salu, Hira dan aku, kami duduk melingkar. Tentu saja Rasi yang jadi ketua
karena dia yang pinter matematika.
“Oke,
sebelum kita bagi-bagi tugas, tadi bu Neneng udah jelasin, sekarang aku coba
ulang tapi sedikit, ya….”
Duh
… senyumnya bikin nagih, lama kelaman kalau senyum terus bisa diabet aku, dan
bla, bla, bla, aku sama sekali nggak ngerti apa yang diomongin Rasi, baca
sin,cos,tangen aja kepalaku langsung muter-muter, herannya kok bisa dia lancar
ngomong jelasin itu cos cosan, dikasih makan apa sih itu otak?
“Icha,
hey, Icha ngerti nggak?” Tiba tiba Hira menyenggolku dengan keras. Aku yang
sedari tadi cuma merhatiin sang ketua ngomong jadi gelagapan.
“Eh?
Apa? Iya?”
“Makanya
didenger omongannya bukanya diliatin mukanya,” bisik Hira ke telingaku.
“Hm,
maaf, ya aku memang payah pelajaran ini, bener, tadi aku udah berusaha ngerti
penjelasan bu Neneng dan kamu tetep aja aku masih loading. Kayanya aku harus les privat sama kamu, deh.” Eh, aku
menutup mulutku. Aku langsung menyesali kata terakhir yang terlontar, dasar kurang
ajar banget ini mulut, aku, kan jadi malu.
“Hehe
… becanda, Rasi,” lanjutku dengan senyum malu-malu kucing.
“Nuggetnya
mulai besok, ya,” bisik Hira lagi.
“Nggak
becanda juga, aku siap.” Rasi menjawab.
“Hah?”
Spontan aku, Salu dan Hira berucap.
“Aku
juga mau,” kata Hira.
“Aku
juga,” ucap Salu selanjutnya.
“Temen
sebangkumu juga ajak, dong, Rasi!” rajuk Zaki.
Hari
Sabtu dipilih untuk kami belajar bersama, karena hari itu sekolah kami libur
dan memilih tempat dirumahku, alasannya karena bunda jago masak, banyak makanan
jadi nggak akan kelaparan, itu alasan Hira, untuk urusan makanan semua pasti
sejutu. Aku sih seneng-seneng aja berasa di apelin, hehe.
Semenjak
itu, aku jadi giat ke sekolah, bertemu dengannya sesuatu hal yang selalu
dirindukan. Untuk pelajaran matematika sedikit banyak kemajuan, setidaknya
kalau ada peer aku tak perlu mencontek lagi, kan, sudah dikerjain
bareng-bareng. Pepatah mengatakan ‘sambil menyelam minum air’ itu memang bagus
kalau diimplementasikan dengan cara baik dan benar.
Pada
bulan selanjutnya, entah angin apa guru matematika tiba-tiba bikin ulangan dadakan.
Meskipun sudah dibahas pada saat belajar bareng, tetep otakku untuk pelajaran
ini memang lemot banget, kesel juga sih sama otak sendiri, huh!
“Ngerjainnya
di buku khusus ulangan matematika, ya!”
‘Kenapa
nggak bilang, sih, ada ulangan jadi buku itu nggak kebawa,’ omelku dalam hati.
Ini
guru memang sering bikin moodku ambyar pagi-pagi, udah pelajarannya susah,
gurunya juga ngeselin, terpaksa aku minta ijin untuk ke kantin buat beli buku
baru.
Soal
ulangan aku liatin, lama-lama dipelototin saking susahnya, parahnya soalnya
beda antar sebangku, jadi nggak bisa nyontek ke Hira. Daripada mataku pegel
melototin soal, aku buka lembar paling belakang buku, biasa corat-coret di kala
jenuh, di sana aku tulis ‘love you Rasi’ dengan huruf beragam dikasih
kotak-kotak setiap huruf dihias sedemikian rupa, jadi terlihat artistik, aku
senyum sendiri, cantik jadinya.
“Icha,
kerjain bukannya ngegambar,” bisik Hira.
“Susah,”
jawabku.
Aku
menghiraukannya, anteng bikin gambar.
“Waktunya
sepuluh menit lagi,” seru bu Neneng.
Waduh!
Baru ngerjain satu dari tiga soal, cepat aku kerjakan semampuku, sampai
waktunya habis hanya dua soal yang terisi, ketua kelas keliling buat ambil
buku, nyerah deh, aku kasih juga bukunya.
“Ini,
punya siapa, ya? Nggak ada namanya,” kata bu Neneng.
Gawat,
karena terburu-buru jadi aku lupa ngasih nama, duh mana di belakang ada
coretannya lagi. ‘Jangan ke belakang, jangan dibaca, jangan dibaca,’ harapku
dalam hati. Ketar ketir aku berharap, keringat di pelipis mulai muncul, mataku
terpejam sambil meratap doa.
“Ada
tulisan di belakang nih ‘love you Rasi’, punya pacar kamu, Rasi!?” teriak bu
Neneng.
Mati,
aku!
Sontak
seisi kelas gaduh.
Disamping
Hira malah menertawakanku, “Ternyata, seorang Icha pemberani juga, itu buku
kamu, kan? Nggak usah panik gitu, itung-itung nembak.”
“Rasi
bagiin bukunya,” pinta bu Neneng.
‘Yah,
kenapa juga harus dia, sih. Kalau ketahuan nanti gimana? Mau ditaruh di mana
mukaku, apa aku pura-pura ke toilet, ya?’ Otakku mulai berpikir.
“Oh
… nugget came to mama,” ujar Hira tertawa cekikikan.
Belum
sempat aku minta ijin ke guru, ternyata Rasi sudah ada di sampingku.
“Ini
buku kamu, kan?” bisiknya dengan membungkukan badan.
Aku
tidak berani jawab, hanya bisa diam mematung, setelah buku ada di depanku
langsung aku buka lembar belakang mau sobek aja trus buang ke dasar laut
gara-gara ini hilang sudah wibawaku. Eh … tunggu ada tulisan tambahan, aku
kenal tulsan ini, ini kan?
‘Makasih,
ya. I love you too’ tulisnya.
Ish
…
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment