Aa
Agus beserta istri dan anaknya sudah
lama meninggalkan tempat tinggalku, tapi kata-katanya masih terngiang jelas di
telingaku.
“Ibadah
kamu sudah bener belum? Jangan sombong jadi perempuan mentang-mentang kamu
sudah punya penghasilan sendiri mau gugat cerai suami.”
Kakakku
sengaja meluangkan waktu berangkat dari Bandung ke Sukabumi demi melihat
kondisi rumah tangga adiknya. Aku tidak menyalahkan A Agus menentang
keinginanku, karena dalam sejarah keturunan keluarga besar Wijaya tidak ada
yang rumah tangganya bercerai. Apa nanti tanggapan sanak saudara, tetangga,
teman di Bandung jika mendengar rumah tanggaku kandas, nama baik keluarga
Wijaya akan tercoreng karenanya.
“Sudah
dipikir matang?” Tanya teh Wati dengan
menggenggam telapak tanganku.
“Sudah
setahun, Teh. Nurul sudah pikirin ini sudah setahun.”
“Apa
nggak ada kesempatan lagi buat Arif?”
Aku
menggeleng.
“Lalu
Ziya sama Zahran?”
Aku
tertunduk diam, mendengar nama anak-anakku dadaku langsung terasa sesak,
tangisanku tak terelakan.
“Nurul
sudah cukup sabar, Teh. Delapan tahun bukan waktu sebentar buat Nurul. Nurul
lelah, cape Teh, kang Arif tidak pernah mengerti apa keinginan Nurul, dia
terlalu tinggi menerima masukan dari istrinya.” Dengan terisak aku ungkapkan
alasanku.
“Kamu
nggak mikir ke depan, masa depan anak-anak? Gimana kalau Arif menginginkan hak
asuh Ziya dan Zahran? Arif sedang di puncak karir, Nurul! Jadi anggota dewan
itu banyak koneksinya. Kamu punya apa sekarang? Punya usaha katering kecil
sudah betingkah! Kamu sudah pertimbangkan itu!?” hardik Aa Agus menatapku
tajam.
“Aa,
Nurul mohon beri dukungan moril, adikmu ini tidak bahagia, adikmu tertekan.
Kalau Aa masih peduli masih sayang sama Nurul bantu solusi agar anak-anak tetap
dalam pengasuhan ibu kandungnya, karena Nurul nggak yakin jika mereka diasuh
bapaknya, dengan watak keras, temperamennya yang tinggi, khawatir masa tumbuh kembang
mereka, A.” Aku menghiba pengertian kakakku.
“Dengan
kamu milih pisah sama bapaknya itu juga sudah buat masa kembang anak-anakmu
jadi suram, Nurul! Apa salahnya sih, kamu nurut apa kata Arif, ridhomu ada pada
suami, surgamu di situ, ingat itu!” tajam Aa Agus dengan telujuk menunjuk ke
arah mukakku.
“Ayah!”
tegur Teh Wati pada suaminya.
Aku
semakin terisak merasa sendirian menghadapi badai biduk rumah tangga. Haruskah
aku ceritakan detail permasalahaan sebenarnya? Aku tak akan berani membuka
usaha katering kecil-kecilan, jikalau aku mendapatkan nafkah yang jelas dan
layak dari suami. Karir kang Arif yang sedang tinggi tak serta merta aku
menapatkan nafkah yang tinggi pula, aku tak punya kuasa untuk mengatur terlebih
menanyakan penghasilannya.
“Akang
beli lagi alat pancing mahal lagi? Nggak sayang itu uang dihambur-hamburkan?”
“Ini
uangku, Nurul! Aku yang banting tulang cari uang, suka-suka aku mau di apakan
uangku. Kamu hanya diam di rumah, tahu makan saja, jangan banyak protes!”
Aku
hanya bisa meratapi nasib seorang istri dari anggota dewan daerah, yang belum
pernah sekalipun suami membelikan istrinya sesuatu dengan harga belasan juta
tapi demi alat pancing, kang Arif rela mengeluarkan uang sembilan belas juta
lebih. Inikah sosok suami yang bersamanya aku akan merengguk kebahagiaan?
Waktu
sudah menunjukan jam dua belas malam, kang Arif belum pulang, padahal jam
kerjanya sudah berakhir sejak sore tadi, entah kemana perginya sekarang.
Terkadang aku tak ingin peduli tapi tetap sebagai istri rasa cemas itu ada.
Menunggu
kepulangan suami sudah menjadi rutinitas harianku sejak pertama kali menyandang
status sebagai istri kang Arif, jam berapapun dia pulang aku selalu setia
menanti di depan pintu untuk menyambutnya, tapi tak satu pun aku mendapatkan
apresiasi yang baik darinya. Bukan bermaksud pamrih, ingin dipuji oleh suami, tapi
salahkah bila seorang istri ingin mendapatkan perlakuan lembut dari seorang
suami? Berlebihankah permintaanku?
“Kenapa
harus nungguin aku pulang sih? Akang kaya anak kecil saja.”
“Ck,
belum tidur kamu? Tidur sana nggak usah nunggu akang!”
“Nurul,
bisa nggak sih kamu jangan kaya polisi jaga?”
“Masih
patroli kamu, ya?”
Andaikan
kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan nada lembut, aku pasti akan
menerimanya, bukan dengan hardikan atau bentakan. Aku duduk di sofa dengan mata
melihat layar Tv, hanya melihat tidak menyimak, mata dan pikiranku sedang tidak
sejalan. Sudah ratusan kali aku menimbang keputusanku, baik dan buruknya bagi
anak-anak terutama, semua nasihat aku dengar dan pertimbangkan entah itu dari
guru ngaji, orang tua maupun teman, keputusanku sudah bulat, aku juga berhak bahagia,
jika kebahagiaan tidak aku dapatkan dalam pernikahan ini lalu untuk apa masih
bertahan.
Aku
melangkah keluar rumah, melihat keheningan malam, menikmati bintang dan bulan
yang yang menghiasi. Kurapatkan sweter hitam yang membalut tubuh, dinginnya
malam sedingin perasaanku padanya. Rasa cinta yang menggebu dulu perlahan
terkikis atau bahkan mungkin sudah tak bersisa. Sosok Arif yang dulu kukagumi
karena pekerja keras, pantang menyerah, giat, rajin ternyata semua itu bukan untukku tapi untuk
dirinya sendiri. Salahkah aku mengambil sikap ini?
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment