[Terima
kasih sayang sudah beliin aku ini, love u lah pokoknya]
Statusnya
hari ini, foto kalung emas menghiasi kalimatnya. Fuih … lagi dia memperlihatkan
koleksi emasnya, eh bukan memperlihatkan tapi memamerkan. Duh … kok aku gerah,
ya? Eh bukan gerah karena dia pemer emas tapi gerah karena sudah puluhan kali
aku nasehatin tetep aja dia nggak gubris.
[Mimin,
kebiasaan deh kamu, pamer-pamer. Apa nggak takut dirampok?] Chatku pada Mimin.
[Yey
… biarin atuh Ninis, emas punyaku, suamiku yang ngasih, bukan suami kamu]
Balasnya.
[Kamu
mungkin nggak tahu, di luar sana banyak perempuan pengen suami seperti kang
Atep-mu dan siapa tahu ada yang ingin menginginkan suamimu dengan mendapatkan
segala cara]
[Ya
elah … kang Atep itu cinta mati sama Mimin, Nis. Tahu sendiri, kan dia
ngejar-ngejar aku. Kalau ada yang ingin merebut kang Atep langkahi dulu
mayatku] sesumbar Mimin membuatku mengelus dada.
[Ya
udah, aku dah kasih tahu ya, kalau ada apa-apa jangan minta bantuanku]
Aku
pun melanjutkan aktifitas harian dengan hati ngedumel.
[Iri?
bilang bos]
Statusnya
beberapa saat kemudian, memang menyebalkan ini orang.
‘Dasar
kepala batu, otak udang,’ sungutku dalam hati. Mau blokir nomornya aku nggak
sampai hati. Dia itu bukan orang kaya baru mengenal HP canggih ataupun baru
masuk dunia sosmed, dari jaman sekolah putih abu sampai sekarang umur udah
kepala tiga masa mau dibilang baru kenal dunia maya. Pamer uang merah gambar
pahlawan proklamasi dijejerin kaya kipas jepret share entah itu di Wa ataupun
di FB. Pamer kemesraan bareng suaminya juga nggak kalah tinggi ratingnya dengan
pamer kekayaan, entah itu pose mesra bareng ataupun SS chat mesra dengan
suaminya.
Meskipun
chatnya jutek dan ngeselin, mulutku sampai berbusa karena nasehatin, tapi aku
nggak kapok untuk mengingatkan begitu pun dia meskipun aku sering
ngomel-ngomel, marah-marah, dia tetap curhatnya ke aku, kalau butuh sesuatu
pasti ngetuk pintu rumahku, begitulah kami adanya, ‘persahabatan bagai
kepongpong’ kalau kata judul lagu.
Mimin
dan aku brojol pada waktu yang sama, main bareng sejak kami bisa lihat dunia
sampai sekarang, sekolah apalagi dari TK sampai SMA temen sebangku. Nggak
bosen? Kadang sih ngerasa jenuh namanya juga hubungan, tapi sampai sekarang
kami bisa mengatasi kebosanan. Jadi seabsrud apapun persahabatan kami nyatanya
masih terjalin hingga kita punya suami dan anak-anak.
Dulu
orang tua kami rumahnya sebelahan, lucunya sekarang kami pun rumahnya
bersebrangan. Awalnya beda kampung, tapi Mimin nyusul pindah deket rumahku,
katanya di kampung sebelah nggak ada orang yang bisa direcokin, alasan! Dia itu
orangnya gampang akrab, supel, humoris hanya saja terkadang implusif dalam
bertindak nggak dipikir jauh apa dampak tindakannya, yang paling betah
sahabatan dengannya tuh dia nggak pelit, hehehe.
Malam
Minggu hari ini keluarga suami ada acara, adik Kang Adang –ayah dari anak-anakku-
yang bungsu berhasil naik jabatan di tempat kerjanya. Kami diajak merayakan
kesuksesannya dengan mentraktik makan sekeluarga sebagai wujud syukur. Disinilah
kami di rumah makan Saung Abah dengan konsep tradisional, terdapat beberapa
saung yang beratapkan jerami padi dan daun kelapa kering dengan tempat duduk
lesehan, kita memilih saung yang cukup besar karena rombongan lumayan banyak,
sebrang saung tempat kami ngumpul kurang lebih berjarak enam meter ada beberapa
saung mungil cocok untuk keluarga kecil.
“Umi,
Umi, lihat itu papahnya Yura!” seru Nafis, anakku yang berusia enam tahun
ketika sedang menikmati makan.
“Mana?”
tanyaku, celingak celinguk.
“Itu
yang lagi jalan sama perempuan baju pendek,” terangnya.
Deg.
Baju
pendek? Mimin kan pake jilbab. Seketika aktifitas menyuap aku hentikan, mencari
sosok yang dikatakan Nafis. Kakiku langsung lemas, dada bergumuruh melihat
pemandangan dari jauh kulihatk kang Atep –suami Mimin- menggandeng mesra
perempuan seksi, eh … tapi tunggu, bukankah itu Pipih teman sekelas SMA kami?
Kurang ajar harus dikasih pelajaran ini manusia. Baru saja aku mau beranjak
tapi tanganku dicekal oleh Kang Adang.
“Jangan
gegabah, Umi.”
“Tapi
Abi itu suami Mimin sahabat Umi. Umi nggak bisa diam Abi.”
“Kita
lihat dulu, Umi, siapa tahu tidak seperti yang kita pikirkan.”
“Mata
Abi rabun, ya!? Udah jelas itu gandengan tangan, mana itu si Pipih kepalanya
gelendotan ke bahu kang Atep, menjijikkan!”
“Iya
istriku sayang, jangan sekarang, kita lihat dulu sejauh mana Kang Atep khilaf, sambil
mengawasi kita nikmati makan malam, oke? Kita cari nanti jalan keluarnya.”
Huft,
kalau saja bukan suami yang ngomong sudah kulabrak itu manusia tidak bermoral.
Pipih kan jelas-jelas tahu kalau kang Atep suami Mimin, waktu renunian tahun
kemarin kan kenalan. Tenggorokannku jadi seret, duh … jangan-jangan, ah …
pikiranku mengasumsikan kemana-mana.
Aku
buka aplikasi berwarna hijau langsung lihat statusnya Mimin.
[Duh
malam minggu sendirian aja nih, paksu ma anak pergi ke rumah omanya]
[Min,
kamu sendirian? Jangan informasikan keadaan rumah dong, Min. Nanti maling
datang, baru nyaho, lho]
[Buat
seru-seruan aja, Ninis. Ih, bawel kamu]
Duh
ini manusia dableg, ya. Lalu tak lama kemudian foto selfi sedang di kamar dia
share lagi.
[Mimin
nanti ada yang ngincar kamu, gimana?]
[Bagus
dong, Nis. Itu artinya meskipun sudah beranak aku masih terlihat cantik dan
menarik] disertai emotikon menjulur lidah.
[Lagian
seru liat komentar-komentar, menghalau sepi Nis. Udah, ih, sana nikmati malam
mingguanya]
[Nanti
kalau kang Atep-mu di gondol pelakor baru deh kamu nangis kejer]
[Nggak
mungkin kang Atep-ku tercinta seperti itu, lha bininya aja masih terlihat
seksi]
Aku
balas chatnya dengan emotikon marah berjejer. Makan malam kali ini tidak bisa
aku nikmati seutuhnya, pikiranku terkuras sahabatku, kasihan sekali dia.
Kami
pulang ke rumah mertua, jadwalnya malam ini memang di rumah beliau untuk
menginap. Sebelum beranjak tidur kami membahas rumah tangga sahabatku, mengapa
sampai Kang Atep selingkuh dan mencari cara bagaiman menyadarkan suami yang
lagi salah jalan. Sampai jam satu malam mataku tidak mau terpejam, resah
gelisah ingin cepat-cepat hari esok tiba. Tiba-tiba gawai di nakas berbunyi,
terlihat nama Mimin, cepat aku angkat, firasatku pasti ada apa-apa yang sedang
terjadi.
“Hallo, Min, ada apa?” tanyaku, tapi aku hanya
mendengar tangisan Mimin dan suara gaduh beserta beberapa suara orang asing.
Aku langsung membangunkan suami.
“Abi,
Abi bangun! Mimin nangis sesegukan dan ada suara ramai. Bi cepat kita harus
pulang!” ajakku.
“Ni-Nis
… a–aku mau diperkosa.” Dengan lirih terbata-bata beradu dengan tangisan, aku
terpaku, membayangkan nasib yang menghampiri sahabatku. Hatiku teremas pilu,
menyayat kalbu.
“Abi
coba telepon pa Rt atau siapa saja yang dekat dengan rumah kita!” Lemas aku
meminta.
Dengan
mimik muka yang masih binging, suamiku pun menuruti permintaanku mungkin
melihat istrinya yang tiba-tiba lemas. Akhirnya panggilan suamiku ada yang
menjawab, alhamdulillah. Aku coba telepon lagi Mimin, tapi tak juga diangkat.
Aku paham mungkin saat ini dia syok berat, mudah-mudahan di sana ada orang yang
menenangkan Mimin, aku menghapus air mata yang tanpa kusadari membasahi pipi.
“Pelakunya
kang Ujang dan kang Yudi, Umi.”
Kang Ujang pemuda pengangguran masih satu Rt
dan kang Yudi penduduk Rw sebelah. Menurut penjelasan pak Rt hal mengerikannya
tidak sampai terjadi, Mimin bisa berontak dan teriak minta tolong, kebetulan
malam minggu pak Rt dan empat warga lain sedang kebagian tugas jaga keamanan
warga. Kang Ujang memang sudah lama mengincar Mimin, katanya dia tergiur wajah
cantik dan body langsing Mimin, entah bagaimana ceritanya sampai tahu
status-status yang dibuat Mimin. Setali dengan kang Ujang, kang Yudi pun sudah
lama mengincar perhiasan Mimin. Mereka berdua bersekongkol.
Malam
itu juga aku minta diantar pulang, akan
ku peluk erat sahabatku.
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment