Waktu
menunjukan pukul tujuh lewat. Aku membuka jendela, hawa dingin langsung terasa,
membuat tubuh menggigil. Dari semalam rintik hujan terdengar sekarang pun
gerimis masih terlihat. Di depan sana halimun menghiasi pagi. Sebuah
pemandangan indah.
Aku
melangkah ke belakang, rasanya pagi yang syahdu sayang kalau dilewatkan tanpa
ditemani sesuatu. Segera aku meracik minuman cokelat panas -your favorite, sengaja memilih minuman
ini.
Aku
duduk di teras depan, pada sebuah kursi klasik yang berjumlah dua, di antaranya
ada meja bundar berhiaskan kaktus kecil dengan pot putih.
"Aku
suka pohon kaktus. Tahu kenapa?"
"Tidak
perlu repot mengurusnya."
"Nggak
nyangka tanaman yang biasa tumbuh di gurun sekarang jadi tanaman hias buat di
rumah."
"Ternyata
waktu terus bergulir, zaman juga ikutan berubah."
"Kira-kira,
menurut kamu, besok-besok tren apalagi soal tanaman?"
Aku
terus menatapmu, senyum tak pernah lepas dari wajahku. Mendengar celotehanmu
sudah cukup membuat hidupku lebih berwarna.
"Aku
nggak tahu, Nay." Aku gelagapan, ketika diajukan pertanyaan, terlalu asik
memindai dirimu.
"Ck
... nggak seru!"
Kamu
mencebik, wajah merenggutmu malah membuatku gemas.
"Aw
... sakit!" ucapmu sambil mengusap pipi yang kemerahan karena cubitanku.
Aku
mengusap wajah kasar. Mengingat obrolan kita waktu membeli tanaman kaktus kecil,
awal dari kau menggilai tanaman kecil itu. Dominan tanaman dipenuhi kaktus
mulai dari yang murah sampai yang mahal. Aku menoleh ke samping, pada kursi rotan
yang tergantung pada plafon. Biasanya kau yang duduk di situ, menghabiskan sisa
waktu yang sedikit lagi berakhir.
“Aku
yang pilih kursinya, ya!?”
“Heem.”
“Cuma
‘hm?’ sumbang saran, dong!”
“Pilihanmu,
pilihanku juga. Kau yang nanti jadi ratunya. Aku nggak mau ribet urusan perabot
rumah.”
“Aku
pilih yang ini. Multi fungsi, bisa sekalian jadi ayunan, tinggal beli bantal
jadi nyaman. Duh, nggak sabar pengen nyoba nanti.”
Kamu
sangat ekspresif, Nay. Binar matamu, gestur tubuh, tawamu, membuatku geleng
kepala. Kamu selalu seperti bocah yang baru dapat kejutan. Tak bisa dipungkiri
hal ini lah yang membuatku jatuh hati tiada henti. Gadis berwajah ceria.
Aku
menyeruput minuman kesukaanmu, sambil memejamkan mata membayangkan dirimu yang
sedang menikmati secangkir cokelat panas. Kau mencium aroma coklat, mata
indahmu tertutup, menghirupnya dalam, begitu menghayati, perlahan kau meminumnya
sedikit, lalu terbukalah binar mata beriringan dengan lengkungan bibir merah
mudamu. Cantik. Sempurna di mataku. Aku hapal detail cara kau menikmati
secangkir cokelat panas. Aku merindukanmu, Nay. Sangat.
Ck
… kenapa pagi yang indah harus kurasakan sesak?
Dua
purnama sudah terlewati, namun, hingga kini keberadaanmu masih tersembunyi,
gelap sepekat malam. Tak terhitung berapa kali aku bertandang ke kantor
tempatmu bekerja. Namun, yang kudapat jawaban yang selalu sama, sampai mereka
jemu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tapi aku tak peduli dengan tatapan kesal
mereka. Aku hanya ingin kau kembali. Kemanakah dirimu, Nay?
“Tidak
bisakah tugas ini diberikan sama orang lain, Nay?”
“Nggak
bisa, aku sendiri yang mengajukan ini.”
Pekerjaanmu,
hobimu, your passion di situ, dan aku
tak bisa melarangmu. Aku bukan tak menyukai pekerjaanmu, Nay, melainkan risau
ketika kau berada di luar lapangan, terlebih medan yang kau tempuh kali itu.
“Tenang
saja, ada Putra yang jagain aku.”
“Jangan
khawatir, Bro, tunanganmu aman samaku.”
“Ingat,
enam bulan lagi!”
Aku
menatap sendu kepergianmu. Tubuh mungilmu tenggelam dalam ransel besar yang tersampir
di punggung, tapi itu tak mengubah gerak lincahmu berjalan, mungkin kau sudah
terbiasa dengan barang seperti itu, sungguh itu membuatku khawatir. Sesaat
sebelum masuk, kau berbalik memandang kearahku, meskipun dari jarak yang tidak
dekat aku dapat melihat ada kabut dalam matamu, lalu memberikan senyuman yang
tak biasa, beratkah kau meninggalkanku, Nay? Kau melambaikan tangan dan memberikan
ciuman jarak jauh. Aku tersenyum melihat polah tingkahmu. Namun, senyumku memudar
seiring tubuhmu hilang dari pandangan, terbersit rasa takut akan kehilanganmu.
Ditemani
Galang dan Lutfan, mengajukan cuti kerja, berharap pencarian kali ini akan
menemukan titik terang. Bertiga kami mengumpulkan informasi untuk melakukan
pencarian. Meskipun jarak yang harus dilalui tidaklah mudah untukku yang
terbiasa bekerja dibalik meja komputer, tapi tidak bagi Galang dan Lutfi, dua
sahabat yang berprofesi sebagi polisi dan jurnalis, mereka terbiasa bekerja di alam
terbuka. Namun, demi menemukanmu aku nekad mencari sampai ke tempat terakhir
kau menunaikan tugas bersama Putra.
Tepat
pada saat pancaran matahari tepat di atas kepala, kami sampai di kota Samarinda
setelah menempuh dua jam lebih dari Balikpapan. Perjalanan belum usai kami
harus menempuh kurang lebih 314 kilometer untuk mencapai Ujoh Bilang Ibu Kota Kabupaten
Mahakam Ulu. Butuh dua hari untuk sampai di kabupaten termuda di Bumi Etam. Kami
mencari penginapan, mengumpulkan tenaga dan pikiran untuk perjalanan besok. Rencana
menggunakan transportasi sungai, menumpang
longboat yang akrab dikenal dengan istilah taksi air.
Sebenarnya
bisa saja kami menggunakan jalur udara, tetapi tidak ada jaminan bisa cepat
berangkat karena jam terbangnya hanya tiga kali seminggu dari Samarinda serta
minimnya kapasitas penumpang yang dibatasi, itu pun tidak sampai langsung ke
Ujoh Bilang sekitar lima sampai enam jam perjalanan lagi menggunakan speedboat.
Bertolak dari Dermaga Sungai
Kunjang sekitar pukul tujuh pagi, dengan menaiki KM Dayak Lestari, berukuran
sekitar 25x6 meter, haluan taksi air perlahan membelah ombak Sungai Mahakam yang cukup
tenang, padahal hujan tadi malam mengguyur. Menyusuri pinggiran sungai, satu
per satu kampung yang ada di tepi sungai dilewati. Pesona dan keindahan alam
hulu Mahakam yang masih didominasi hutan lebat seakan menjadi penyejuk suasana
selama perjalanan. Para penumpang tidak ada yang mabuk kecuali aku, mereka
menikmati suasana perjalanan, berbanding terbalik denganku, cukup kepayahan
dengan rasa yang menyiksa ini.
Akankah aku menemukanmu di
sini, Nay?
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment