Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Sunday, 9 August 2020

Senja

 

sunset,senja,cerpen,pohonkelapa,pilu,novel,literasi


Seberapa besar kau mengagumi senja? Apakah kau masih mengagumi senja seperti diriku? Aku masih di sini, masih percaya bahwa kau akan tetap sama menggagumi hari yang berwarna jingga. Apakah kau di sana saat ini sama dengan ku? menikmati pancaran cahaya yang berwarna indah siap menyambut langit gelap. Aku harap kau begitu.

 

Tempat ini tidak pernah berubah, meskipun musim sudah berganti puluhan kali, masih terbentang luas permadani indah dipayungi pohon kelapa yang berjejer kokoh. Apakah kau tahu? aku bersandar pada pohon kelapa yang melengkung indah, goretan itu masih ada, setelah kita membuatnya kau pun berucap, “aku pasti ke sini lagi menemuimu.”

 

Aku tak bisa mengartikan kata-katamu, hanya bisa membalas tatapan matamu dalam. Berlebihankah bila aku berkeyakinan kita memiliki rasa yang sama? Lengkungan bibir ke atas ketika bertemu menghasilkan senyuman yang tak pernah pupus dalam penglihatan, degup jantung yang bertalu cepat di saat bersama, pancaran ketidaksukaan ketika akrab dengan yang lain, risau hati jika tidak bersua walau sehari. Benarkah apa yang aku pikirkan?

 

“Dek, kenapa Mas pengen ketemu terus sama kamu?”

 

“Dek, jangan terlalu deket sama Agung, Mas ndak suka!”

 

“Dek, belajar yang giat buat masa depanmu!”

 

“Dek jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah, itu penting buat menjaga konsentrasi belajar kamu.”

 

Deretan kalimat yang sering kau ucapkan. Aku rindu perhatianmu, Mas.

 

Aku berjalan gontai, meninggalkan tempat di mana kau berjanji menemuiku, warna jingga sudah berubah warna, benda pipih ini masih terus aku genggam erat, berulang kali membukanya berharap ada balasan darimu, tetapi nihil.

 

Berpuluh purnama aku memendam rindu, memikirkanmu yang sudah satu tahun ini tidak lagi mengirim kabar. Sudah berapa kali si mbok menasehati untuk melupakanmu, mengomel-ngomel karena aku jarang menyentuh nasi, bagaimana bisa aku makan dengan lahap sedang pikirannku terkuras kearahmu, haruskah aku pupus rasa ini?

 

Pada pertengahan tahun, di saat angin sering berhembus kencang aku merasakan kehadiranmu di sini, benarkah firasatku? Tapi aku tepis tak mungkin kau pulang tanpa mengabari, bukankah kau sudah berjanji jika pulang akan menemuiku.

 

Terlalu sering tidur menjelang pagi, di tambah kurang asupan nutrisi, membuat pertahanan tubuhku pun turun, dengan terpaksa aku berobat ke puskesmas.

 

Aku masuk ke ruang periksa setelah namaku dipanggil.

 

“Silahkan duduk,”  kata orang berjas putih yang sedang menunduk.

 

Langkahku terhenti, menunggu orang berjas putih bersuara lagi untuk meyakinkan pendengarannku, suara itu … sekian lama aku menantikannya, dia mengangkat kepala -mungkin heran kenapa pasien  tidak duduk juga- netra kami bersirobok, aku terbelalak dapat ku tangkap tatapan matanya pun sama kagetnya, meskipun tertutup masker tapi aku bisa mengenali sorot matanya. Perlahan berjalan dan duduk di hadapannya, sesaat kami membisu, dalam otak tersimpan belasan pertanyaan tapi aku bingung memulai darimana.

 

“Ehm.” Dia memecah kebisuan.

 

“Apa yang dirasakan, Mbak?”

 

‘Mbak?’ tanya ku dalam benak. Oh … ya Gusti, mana panggilan ‘Dek’-nya, mustahil dia tidak mengenaliku, mengapa dia berpura-pura, apakah dia tidak mau kenal denganku lagi atau dia sudah melupakanku, secepat itukah hatinya berubah?

 

“Pusing,” jawabaku singkat. Aku memberanikan diri menatap kearahnya tajam, tak kualihkan pandanganku walau sekejap, rasa rindu, marah, kesal, heran, kecewa berbaur menjadi satu.

 

“Panas?” tanyanya tanpa menoleh ke depan dia tetap menunduk menulis sesuatu pada secarik kertas.

 

“Sedikit.”

 

“Perutnya sakit?”

 

“Iya.”

 

“Mual?”

 

“Iya.”

 

“Sudah berapa hari?”

 

“Satu tahun.”

 

Gerakan tangannya berhenti, dia mengangkat kepala, sesaat pandangan kami bertemu, terlihat sorot mata yang … entahlah.

 

“Silahkan berbaring.”

 

Dengan telaten dia memeriksa, ketika gerakkan tanganya terangkat ke atas kulihat sebuah cincin putih melingkar indah pada jari manisnya, hatiku mencelos seketika itu pun aku mengerti, kupalingkan kepala ke arah kiri menahan sesak di dada.

 

Aku turun tanpa bertenaga, tak ada lagi tatapan tajam dariku, tak ada lagi belasan pertanyaan dalam benak, sebuah benda mengkilap pada jari kirinya sudah menjawab semua rasa penasaranku, aku tahu … aku paham.

 

“Usahakan jangan sampai telat makan, nanti lambungnya tambah sakit ….”

 

Selanjutnya aku tak menyimak kata-kata yang dia ucapkan, aku sibuk menata hati yang porak-poranda, menengadah mencegah air mata turun.

 

“Silahkan kertas ini bawa ke ruangan sebelah, semoga lekas sembuh.”

 

Dengan menunduk kuayunkan langkah menuju pintu, tanganku berhenti ketika akan memutar knop pintu, mendengar dia berkata, “Dek, jangan banyak pikiran.” Aku tak menoleh kearahnya, tak ada guna nasehat itu terucap dari mulutnya. Aku menarik napas panjang dan membuka pintu keluar.

 

Senja … kali ini dan seterusnya aku tak akan menantikanmu, meskipun warna jingga sangatlah elok, tetapi tetap kehadiranmu hanya akan mendatangkan sembilu. Kuputuskan mengakhiri kebodohan yang aku pelihara bertahun-tahun, setitik asa tersimpan dalam diri, aku pikir itu sudah cukup untuk merenda bahagia setelah kamu meretakkan rasa berkeping-keping.



Oleh : Neng Sri

4 comments: