Seberapa besar kau
mengagumi senja? Apakah kau masih mengagumi senja seperti diriku? Aku masih di
sini, masih percaya bahwa kau akan tetap sama menggagumi hari yang berwarna
jingga. Apakah kau di sana saat ini sama dengan ku? menikmati pancaran cahaya
yang berwarna indah siap menyambut langit gelap. Aku harap kau begitu.
Tempat ini tidak pernah
berubah, meskipun musim sudah berganti puluhan kali, masih terbentang luas
permadani indah dipayungi pohon kelapa yang berjejer kokoh. Apakah kau tahu?
aku bersandar pada pohon kelapa yang melengkung indah, goretan itu masih ada, setelah
kita membuatnya kau pun berucap, “aku pasti ke sini lagi menemuimu.”
Aku tak bisa
mengartikan kata-katamu, hanya bisa membalas tatapan matamu dalam. Berlebihankah
bila aku berkeyakinan kita memiliki rasa yang sama? Lengkungan bibir ke atas
ketika bertemu menghasilkan senyuman yang tak pernah pupus dalam penglihatan,
degup jantung yang bertalu cepat di saat bersama, pancaran ketidaksukaan ketika
akrab dengan yang lain, risau hati jika tidak bersua walau sehari. Benarkah apa
yang aku pikirkan?
“Dek, kenapa Mas pengen
ketemu terus sama kamu?”
“Dek, jangan terlalu
deket sama Agung, Mas ndak suka!”
“Dek, belajar yang giat
buat masa depanmu!”
“Dek jangan lupa
sarapan sebelum berangkat sekolah, itu penting buat menjaga konsentrasi belajar
kamu.”
Deretan kalimat yang
sering kau ucapkan. Aku rindu perhatianmu, Mas.
Aku berjalan gontai,
meninggalkan tempat di mana kau berjanji menemuiku, warna jingga sudah berubah
warna, benda pipih ini masih terus aku genggam erat, berulang kali membukanya
berharap ada balasan darimu, tetapi nihil.
Berpuluh purnama aku
memendam rindu, memikirkanmu yang sudah satu tahun ini tidak lagi mengirim
kabar. Sudah berapa kali si mbok menasehati untuk melupakanmu, mengomel-ngomel
karena aku jarang menyentuh nasi, bagaimana bisa aku makan dengan lahap sedang
pikirannku terkuras kearahmu, haruskah aku pupus rasa ini?
Pada pertengahan tahun,
di saat angin sering berhembus kencang aku merasakan kehadiranmu di sini,
benarkah firasatku? Tapi aku tepis tak mungkin kau pulang tanpa mengabari,
bukankah kau sudah berjanji jika pulang akan menemuiku.
Terlalu sering tidur
menjelang pagi, di tambah kurang asupan nutrisi, membuat pertahanan tubuhku pun
turun, dengan terpaksa aku berobat ke puskesmas.
Aku masuk ke ruang
periksa setelah namaku dipanggil.
“Silahkan duduk,” kata orang berjas putih yang sedang menunduk.
Langkahku terhenti,
menunggu orang berjas putih bersuara lagi untuk meyakinkan pendengarannku,
suara itu … sekian lama aku menantikannya, dia mengangkat kepala -mungkin heran
kenapa pasien tidak duduk juga- netra
kami bersirobok, aku terbelalak dapat ku tangkap tatapan matanya pun sama
kagetnya, meskipun tertutup masker tapi aku bisa mengenali sorot matanya. Perlahan
berjalan dan duduk di hadapannya, sesaat kami membisu, dalam otak tersimpan
belasan pertanyaan tapi aku bingung memulai darimana.
“Ehm.” Dia memecah
kebisuan.
“Apa yang dirasakan, Mbak?”
‘Mbak?’ tanya ku dalam benak.
Oh … ya Gusti, mana panggilan ‘Dek’-nya, mustahil dia tidak mengenaliku,
mengapa dia berpura-pura, apakah dia tidak mau kenal denganku lagi atau dia
sudah melupakanku, secepat itukah hatinya berubah?
“Pusing,” jawabaku
singkat. Aku memberanikan diri menatap kearahnya tajam, tak kualihkan
pandanganku walau sekejap, rasa rindu, marah, kesal, heran, kecewa berbaur
menjadi satu.
“Panas?” tanyanya tanpa
menoleh ke depan dia tetap menunduk menulis sesuatu pada secarik kertas.
“Sedikit.”
“Perutnya sakit?”
“Iya.”
“Mual?”
“Iya.”
“Sudah berapa hari?”
“Satu tahun.”
Gerakan tangannya
berhenti, dia mengangkat kepala, sesaat pandangan kami bertemu, terlihat sorot
mata yang … entahlah.
“Silahkan berbaring.”
Dengan telaten dia
memeriksa, ketika gerakkan tanganya terangkat ke atas kulihat sebuah cincin
putih melingkar indah pada jari manisnya, hatiku mencelos seketika itu pun aku
mengerti, kupalingkan kepala ke arah kiri menahan sesak di dada.
Aku turun tanpa
bertenaga, tak ada lagi tatapan tajam dariku, tak ada lagi belasan pertanyaan
dalam benak, sebuah benda mengkilap pada jari kirinya sudah menjawab semua rasa
penasaranku, aku tahu … aku paham.
“Usahakan jangan sampai
telat makan, nanti lambungnya tambah sakit ….”
Selanjutnya aku tak
menyimak kata-kata yang dia ucapkan, aku sibuk menata hati yang porak-poranda, menengadah
mencegah air mata turun.
“Silahkan kertas ini
bawa ke ruangan sebelah, semoga lekas sembuh.”
Dengan menunduk
kuayunkan langkah menuju pintu, tanganku berhenti ketika akan memutar knop
pintu, mendengar dia berkata, “Dek, jangan banyak pikiran.” Aku tak menoleh
kearahnya, tak ada guna nasehat itu terucap dari mulutnya. Aku menarik napas
panjang dan membuka pintu keluar.
Senja … kali ini dan
seterusnya aku tak akan menantikanmu, meskipun warna jingga sangatlah elok, tetapi
tetap kehadiranmu hanya akan mendatangkan sembilu. Kuputuskan mengakhiri
kebodohan yang aku pelihara bertahun-tahun, setitik asa tersimpan dalam diri,
aku pikir itu sudah cukup untuk merenda bahagia setelah kamu meretakkan rasa
berkeping-keping.
Oleh : Neng Sri
Hhmmm 😠💔
ReplyDeletehhhmmm
DeleteItu yg nama nya PHP..
ReplyDeletethats right
Delete