Adakah lelaki sempurna di dunia ini? menurutku ada, aku saksinya. Bagiku dia sempurna, sesempurna cintanya padaku, tak peduli orang lain berkata mustahil tapi untukku dia sempurna dalam definisiku.
Usia pernikahan kami sudah memasuki seperempat abad, penerus generasi tidak akan pernah terlahir dari rahimku, karena aku sudah tak memilikinya.
“Kamu mungkin tidak masalah, tapi orang tuamu?” tanyaku waktu itu.
“Orang tuaku akan bahagia bila melihat anaknya bahagia.”
Meskipun syarat poligami terpenuhi tetapi dia tetap keukeuh menolaknya. Terakhir kali aku membujuk, memperlihatkan beberapa foto muslimah yang terpilih, tapi berakhir dengan kemarahannya.
“Untuk terakhir kalinya, jangan kamu membuatku marah lagi karena terus-terusan bicara mengenai ini!”
Aku terkesiap dengan nada suara tinggi yang terlontar pertama kali dari mulut suamiku.
“Tolong hargai keputusan suamimu, jangan memaksa lagi, bukankah seorang istri shalehah akan mematuhi apa kata imammnya?”
Aku terisak, merasa sangat bersalah telah memaksakan kehendak. Dia mendekat lalu duduk saling berhadapan, meraih kedua tanganku dan mengusapnya lembut.
“Sayang … maaf, bukan maksudku untuk bicara kasar. Aku tak tahu cara apa lagi agar kamu berhenti membicarakan itu, aku bosan. Jika kamu masih cinta, hargai perasaanku, atau kamu memang sudah tidak mencintaiku lagi?”
“Dengan entengnya kamu menyuruhku menikah lagi, padahal hati ini tak pernah sedikitpun memikirkan wanita lain, hanya kamu wanita yang akan menjadi istriku satu-satunya sampai nanti kita tua.” Kali ini nada suaranya pelan.
“M-ma-af.” Aku semakin terisak.
“Poligami itu memang diperbolehkan, tapi aku tahu batas kemampuanku.”
“Taadud seni rumah tangga paling tinggi, sulit, Sayang, aku tidak cukup ilmu untuk itu.”
“Kamu mau suamimu ini nanti berjalan pincang?”
Aku menggelengkan kepala sambil terus terisak.
“Tapi bukan itu saja, ‘kan kekurangannku?”
“Apalagi?” Dia terus mengusap tanganku dengan tersenyum penuh cinta, ah … betapa aku tak sanggup menatap tatapan itu.
“I-itu-.” Aku menunduk memainkan jari jemarinya. Dia mengangkat daguku memaksaku untuk menatap sorot mata teduhnya.
“Apapun itu aku menerimanya, seperti kamu menerima kekuranganku.”
Dia membawaku ke dada bidangnya, aku mendekapnya erat, sambil mencium pucuk kepalaku berulang kali, dan berucap, “Ana uhibukki fillah. Aku mencintaimu karena Allah.”
-----
Dia adalah lelaki dengan kesempurnaan fisik, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berbadan tinggi tegap, rambut hitam bergelombang, mata sipit yang memancarkan kesejukan, bola mata gelap sepekat malam, bila tersenyum akan terlihat kalau kedua buah pipinya mempunyai lesung pipit, siapa yang tak akan terpesona melihatnya.
Bisa dikatakan kami saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Kuliah di Universitas Negeri Bandung, mengambil jurusan yang sama yaitu Hukum, dia selalu meminjam catatan kuliahku padahal itu hanya akal bulusnya untuk lebih dekat denganku.
Kata mamah sejak kecil aku ririwit bahkan hingga dewasa masih menjadi langganan dokter. Pada tahun kedua kuliah kami menjalin hubungan, di tahun ketiga aku sudah merasakan ada sesuatu yang salah di dalam perut, tetapi aku abai akan hal itu. Pada tahun keempat baru aku memeriksakan dengan intensif ke rumah sakit, dia setia mengantarku kontrol, ternyata tumor itu sudah merusak rahimku.
“Kamu nggak cape nganter aku bolak balik rumah sakit?”
“Nggaklah, demi kamu nggak kenal cape.”
Pada akhir perkuliahan pada saat mahasiswa lain diwisuda aku terbaring lemah di meja operasi. Setelah bergulat dengan pro dan kontra akan penyakitku akhirnya memilih jalan ini. Menurutku dia adalah tipe lelaki nekad, bagaimana tidak, dia tahu keadaanku sebelum melamar tetapi tetap menikahiku, bahkan dia sendiri yang menemani aku ketika operasi.
“Kamu nggak ikut wisuda?”
“Ikut, nggak seluruhnya, hanya intinya saja habis itu langsung nemuin kamu.”
“Kenapa? sayang ‘kan moment terakhir?”
“Momentnya pengen sama kamu. Kangen kamu terus, sih.”
“Ish … mulai deh, gombal.”
“Emang. Nikah, yuk!”
Aku terdiam, menatap pada kedalaman matanya mencari adakah gurauan di sana, netra kami saling bersitatap, bola matanya tidak bergerak sedikitpun, saat itu aku tahu, dia serius mengucap kata ‘nikah’.
“Meskipun keadaanku begini?”
“Yap, memangnya ada apa dengan kamu?”
“Ish, kamu itu pura-pura nggak tahu atau bodoh sih?”
“Aku serius, Ai!”
“Aku sakit-sakitan terus. Nanti kalau aku sakit siapa yang ngurus kamu?”
“Makanya nikah yuk, Ai!”
“Nggak nyambung.”
Dia terdiam, menatapku lekat, lalu berkata, “Nikah, yuk. Aku ingin hubungan kita ada muaranya, salah satu impian hidupku selalu bersamamu. Kita sempurnakan rasa, kita minta restu orang tua juga restu dari Tuhan biar apa yang kita rasa menjadi pahala. Jangan terlalu dikhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, hidup jangan dibikin ribet, Ai.“
Dia tipe orang yang punya keinginan susah untuk dibelokkan, itu salah satu point lebihnya, yang membuat hatiku tak bisa berpaling dan tentu saja aku menerima pinangannya.
-----
Dia memilih resign dari kantor advokad yang selama sepuluh tahun digelutinya, setelah aku mengalami kecelakaan yang mengharuskan kaki jenjangku tinggal satu dan memilih membuka usaha sendiri, kantornya pun berada di samping rumah dengan alasan tak ingin jauh dariku. Gombalan yang receh.
Kesabarannya tak terbatas, pasca kecelakaan aku mengalami insecure, merutuki takdir yang kejam menurutku. Emosiku sering tak terkendali, menjadi temperamental, menolak bertemu dengannya, menarik diri dari dunia.
“Aku cacat.”
“Gerakku lambat.”
“Kamu pasti malu gandengan tangan denganku.”
“Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh.”
“Aku benci.”
“Aku tidak bisa mengurusmu dengan baik.”
Entah berapa banyak kata seperti itu yang aku ulang terus tapi dia tidak bosan mendengarkan, selalu tenang mengadapi keluh kesahku. Dia adalah pelengkap hidupku, penyempurna jalan hidupku, lelaki yang ditakdirkan untukku dan takdir tidak akan pernah salah menyapa.
“Kamu cukup ngurus aku dalam setiap do’amu selipkan namaku.”
“Aku yang akan mengurusmu, karena aku adalah qowwam-mu.”
Bagaimana bisa aku tak semakin dalam mencintainya.
-----
Ketika di peraduan, sering aku memandangnya sendu, meyakini bahwa dia pasti merindukan seorang istri sempurna dan aku tidak bisa memberikannya. Aku menatap dalam lelakiku, melantunkan do’a-do’a untukknya, tak terhingga rasa terima kasihku, tak cukup hanya dengan kata dan setelahnya pasti pipiku basah.
“Jangan ada pikiran semacam itu!” Seolah dia tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Aku tak memerlukan istri sempurna, kamulah yang membuatku sempurna.” Dia menghapus jejak air mataku.
“Kamu tidak merindukan seperti istri-istri yang lain?” Aku mengusap lembut wajah damainya.
“Hatiku sudah tertutup untuk perempuan lain. Cukup kamu percaya bahwa aku cinta kamu seperti kamu memandang samudra yang tak bertepi. Sedalam lautan yang tidak bisa diukur, seluas dan sedalam itu rasaku.”
“Kita menua bersama, ya,” ucapnya pelan dengan merengkuhku ke dalam pelukan hangatnya.
“Wo ai ni,” lanjutnya tak lupa mencium lembut keningku.
“Seni seviyorum,” balasku terbata dengan mata berembun.
Lalu kami tergelak bersama, kebiasaan menjelang tidur mengungkapkan kata cinta dari berbagai negara, entah itu bahasa Inggris, Korea, Jepang, Prancis, Italia atau yang lain.
Saling mengecup kening mengakhiri pillow talk malam ini.
Oleh Neng Sri
Menua bersama sampai rambut putih dikepala...
ReplyDeleteLelaki menjadi sempurna karena ada wanita tidak sempurna di sampingnya sebagai pembandingnya. .
Sangat mengispirasi ceritanya bu...
tengkyu
Delete