Tahun 2014 bulan
September, aku mendapatkan kabar yang dinanti, janin telah bersemayam dalam
rahim. Foto hasil USG aku bagikan ke sosial media, ingin berbagai kebahagiaan.
Puluhan balasan berkomentar mengucapkan selamat dan beberapa nasehat diberikan.
Kehamilan ini paling ditunggu, berharap kali ini mendapatkan seorang putri. Ini
merupakan kehamilan yang keempat, setelah sebelumnya mengalami keguguran karena
janin tidak berkembang. Bercermin pada kelalaian di kehamilan sebelumnya, maka
kali ini lebih hati-hati, selain periksa di Puskesmas karena faskes BPJS di
sana, juga memeriksakan di klinik Dokter Arif. Alhamdulilah hasil USG Dokter
Arif menyatakan kalau kemungkinan besar janin berjenis kelamin perempuan.
Pada kontrol kandungan
selanjutnya dokter bilang kalau letak plasenta berada di bawah, “Tidak apa-apa,
selama kandungan sehat dan terpantau, insyaallah semua akan baik-baik saja,”
kata Dokter Arif menenangkan.
Pada usia kandungan 34
minggu, jam tiga pagi, tiba-tiba keluar air banyak, aku pikir ngompol tapi
ternyata itu air ketuban. Langsung membangunkan suami dengan sigap beliau
mengantarkan ke Puskesmas.
Bidan di Puskesmas memberikan
rujukan ke RS untuk ditindak lanjuti, karena selain usia kandungan yang kurang
juga posisi bayi yang tidak bagus.
Selama tiga hari diobservasi,
bayi belum bisa dilahirkan dengan berbagai pertimbangan, rasa mulas dihilangkan,
total harus bed rest tidak boleh
turun dari tempat tidur. Selesai dirawat, kami memutuskan untuk melahirkan di
Bandung, sebelum berangkat kontrol terlebih dulu ke Dokter Arif.
“Saya kasih surat
pengantar untuk dokter di Bandung. Kita ambil pahitnya, kalau misalnya lahir
secara secara normal tidak memungkinkan berarti harus SC, ya. Jangan takut,
mudah-mudahan bisa lahir normal yang penting selamat sehat bayi sama ibunya.”
“Bapak nyetirnya
pelan-pelan, jangan ngebut. Saya do’akan selamat sampai Bandung dan lancar
persalinannya.”
-----
Kakak ipar
merekomendasikan Dokter Taufik, selain beliau dokter senior juga beliau adalah
dokter yang disiplin terhadap waktu.
“Ini air ketubannya
sudah berkurang banyak, sudah lebih dari setengah, bahaya buat bayinya, jadi
harus dilahirkan sekarang. Nanti saya bilang ke Rani untuk menyiapkan
inkubator,” kata Dokter Taufik.
Rani adalah kakak ipar,
bekerja di RS sebagai perawat senior di bagian kebidanan.
Ba’da magrib dijemput oleh
kakak ipar menuju Rumah Sakit. Rumah orang tua berada di belakang RS. Ba’da
isya masuk ke ruang tindakan, ditemani mamah, langsung diinfus induksi, tidak
berselang lama terasa reaksinya.
Hari Selasa bertepatan
dengan hari Kartini, menjelang subuh alhamdulillah bayi bisa dilahirkan dengan
persalinan normal, tapi masalah terjadi ternyata plasenta susah dikeluarlan. Bidan
sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengeluarkan dengan cara manual, sampai
akhirnya menyerah meminta bantuan dokter. Jika pada kelahiran anak kedua hanya
sedikit plasenta yang menempel kali ini semua plasenta menempel lekat erat pada
rahim.
Setelah plasenta
berhasil dikeluarkan, aku mengalami syok, badan berasa ringan melayang, lemas,
dingin, mual, muntah. Bidan, perawat, dokter, ko-ass sigap memberikan
pertolongan. Bidan menyuntikan cairan pada paha, dokter mengecek perut, perawat
mengganti infus yang terlepas.
“Bu, Ibu jangan tidur,
Bu. Matanya dibuka,” kata bidan menepuk-nepuk pipiku.
“Ibu anaknya diajak
ngobrol, jangan sampai tidur,” kata bidan pada mamah.
Selama masa kritis,
bidan, perawat dan ko-ass tidak beranjak sedikitpun di samping aku berbaring,
terus memantau perkembangan, berapa menit sekali dicek tekanan darah, setelah
normal kembali, mereka pun meninggalkan ruangan.
Selama tiga hari dirawat
di RS mendapatkan tambahan darah dua kantong, aku pulang tanpa membawa bayi
karena lahir prematur, berat badan di bawah normal.
Seminggu setelah
melahirkan bertepatan dengan jadwal kontrol, jam lima subuh bangun lalu menuju kamar mandi maksud hati
ingin buang air kecil, tapi ketika posisi masih berdiri tiba-tiba keluar darah
encer banyak sekali, rembes, mengalir melalui kaki sampai ke lantai.
“Ibu ini rahimnya sudah
nggak berbentuk. Nggak boleh hamil lagi, nanti di kehamilan selanjutnya akan
tambah parah.”
“Plasenta Ibu itu
menempel semua sampai ke otot rahim.”
“Ditambah darah lagi,
ya. HB-nya 7, pantas aja pucat.”
“Dicoba dulu pake obat
siapa tahu bisa berhenti pendarahannya.” Penjelasan Dokter Taufik, sebagian ada
kata-kata yang tidak aku mengerti.
Setelah dirawat tiga
hari dengan mendapat tambahan empat kantong darah, akhirnya aku bisa pulang
bersama bayi.
Ternyata pendarahan
tidak berhenti sampai di situ. Kadang
darah keluar sedikit bahkan kadang sama sekali tidak ada tapi terkadang banyak
melebihi batas normal darah nifas. Setiap saat menghitung hari kapan
berhentinya nifas. Tentu saja kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pikiran,
kecemasan, ketakutan semakin mengganggu. Makan harus dibujuk, kalau tidak ingat
sedang menyusui malas rasanya. Setiap hari harus minum obat dari dokter dan
juga pelancar asi, karena asi keluar sedikit.
Suatu pagi aku
merasakan tetesan darah yang semakin deras, tatapanku kosong, aku tidak peduli
lagi, darah rembes ke sprei atau tidak. Lalu beralih menatap bayi yang sedang
tertidur pulas, lama … tatapanku berubah semakin tajam, rasa benci tiba-tiba
muncul, menyalahkan kehadirannya, andaikan tidak hamil, andaikan tidak
melahirkan, lelah … aku gelengkan kepala, hati berbisik ini salah. Aku mengusap
wajah dengan kasar, bertanya pada diri sendiri, ‘ada apa dengan diriku? apakah
karena jarak sembilan tahun dengan kakaknya aku sulit harus membiasakan lagi
begadang? Atau karena apa? Aku merasa
kali ini berbeda.’
Aku dekati bayiku,
mengusapnya pelan, menatap setiap inci tubuh mungilnya. Bukankah ini yang aku
harapkan? Bukankah aku yang mendamba seorang putri? Bukankah aku yang selalu
mencari tahu bagaimana cara mendapatkan seorang anak perempuan? Bukankah aku
yang selalu menengadahkan tangan ke atas, memohon pada-Nya agar dikabulkan
permintaan? Bukankah aku yang menginginkan kehadirannya? Astagfirullah …
sungguh pikiran ini sangat menyiksa. Apakah ini yang namanya baby blues?
Waktu bergulir, pertengahan
bulan Juni saatnya pulang ke Sukabumi melayani suami dan anak-anak menemani
mereka di bulan Ramadhan. Sebelum pulang kontrol terlebih dulu ke Dokter
Taufik.
”Sampai kapan, Dok saya
harus minum obat?
“Sampai selesai
menyusui.”
Aku mengerinyit, “lama
sekali, Dok.”
“Iya.”
Aku mendesah pasrah.
Dokter Taufik
memberikan arahan dan nasehat, di saat pamitan, entah aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya, aku
menemukan tatapannya yang berbeda dari biasanya, sebuah tatapan … ibakah?
Seminggu berada di
rumah, hari Sabtu pendarahan terjadi lagi, entah sebab karena apa. Kembali
masuk ke IGD, dicek HB hasilnya bagus yaitu 12 maka bisa pulang diberikan obat
sementara. Dokter dan bidan jaga menyarankan untuk kontrol lebih lanjut ke
dokter kandungan.
Hari senin memeriksakan
ke dokter kandungan, kali ini memilih dokter kandungan perempuan sebagai second opinion, diberi obat untuk
seminggu, berharap ada perubahan tapi ternyata … tidak.
Aku diam termenung di
sudut kamar, memengang kalender yang penuh dengan coretan, biasanya nifas 40
hari tapi ini sudah 74 hari, ini bukan darah nifas. Aku tergugu menahan isakan
membekap mulut agar suara tangisan tidak terdengar, bersujud meminta Sang Kuasa
untuk memberhentikan. Pikiranku lelah, ragaku letih, aku takut sesuatu yang
buruk terjadi, firasat itu ada.
No comments:
Post a Comment