Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Thursday, 3 December 2020

Literasi# Histerektomi - Part 3


histerektomi,rahim,kandungan,hamil,cerbung,cerpen,novel,true story






Sayup-sayup terdengar orang sedang berbincang, aku melihat sekeliling … sepi, lalu tak terdengar suara lagi.

 

Aku terbangun kembali mendengar suara orang-orang yang semakin ramai, berbicara tentang makanan, minuman. Lalu salah satu perawat menghampiri, “Teteh sudah bangun?”

 

“Mana suami saya, Teh?” Perkataan itu yang pertama kali terlontar.

 

“Suami Teteh lagi keluar mungkin lagi cari makanan buat buka.” Aku ingat sekarang adalah bulan Ramadhan.

 

“Teteh pingsan sudah tiga jam, dari jam tiga.” Aku masih belum mencerna keadaan terlalu lemah akhirnya tertidur lagi.

 

Terbangun lagi karena mendengar suara adzan. “Suami saya mana?” Lagi aku menanyakan keberadaan suami.

 

“Mungkin lagi sholat magrib dulu.”

 

“Teteh pake baju dulu, ya!”

 

“Sini saya bantu, geulis,”  ucap perawat ramah. Aku melihat ke bawah ada selimut dari rumah, di atas badan entah ada benda apa warnanya mengkilap.

 

“Ayo sayang angkat badannya sedikit, yap pinter.”

 

Selesai memakai baju aku bertanya, “Teh perut saya kenapa sakit?”

 

“Ya ‘kan habis dioperasi pasti sakit,” ketus perawat laki-laki, entah kapan datangnya.

 

“Operasi?” tanyaku dalam benak, aku belum bisa berpikir dengan jernih badanku masih terlalu lemas. Tertidur lagi.

 

“Gimana kalau saya, golongan darahnya sama.”

 

“Nggak bisa, Bapak ‘kan saum.”

 

Terbangun mendengar suara suami, tapi mataku belum bisa melihat dengan jelas, samar.

 

“Ayah …,” lirih aku memanggil. Mungkin karena terlalu pelan jadi tidak terdengar. Mataku terpejam lagi.

 

Sayup-sayup terdengar lagi orang-orang berbincang, aku buka mata, samar terlihat adik sepupu memabawa tas, tidak tahu tas apa. Terpejam lagi.

 

Entah jam berapa aku terbangun kembali, sunyi … hanya suara tut, tut, tut yang terdengar jelas. Kurasakan tangan kanan dan kiriku terpasang alat, di depan tempat aku berbaring ada meja perawat di belakangnya ada lemari kaca. Aku bisa melihat melalui pantulan kaca, ada monitor  di atas kepala sebelah kanan, tangan terpasang sebuah alat, entah apa yang pasti alat itu akan mengembung berapa menit sekali. Lalu aku melirik ke sebelah kiri, ah … ternyata aku sedang ditranfusi, dan ada suami tak jauh berdiri dekat aku terbaring.

 

“Yah ….”  Suami mendekat.

 

“Perut sakit,” rintihku.

 

“Sabar, ya.” Sambil mengelus kakiku.

 

“Pengen minum,” rengekku.

 

“Nanti. Tunggu, sabar, ya.”

 

Tak berlangsung lama datang perawat yang lain, sepertinya ganti shift, berjalan menuju meja dan berbincang. Setelah selesai berbincang dengan teman sejawatnya lalu berjalan mendekat ke arahku, suami mundur untuk memberikan keleluasaan padanya. Setelah selesai memeriksa kondisi, perawat tersebut mengampiri suami.

 

“Betul, Pak, ini tuh?” tanyanya.

 

“Iya, betul, diangkat,” jawab suami.

 

Aku bingung segaligus kaget.

 

“Diangkat apa, Yah? Rahim? Kata dokter disteril?”

 

Langsung hening.

 

Beberapa saat tidak ada yang berani berbicara, sampai akhirnya perawat yang satu berkata.

 

“Iya, histerektomi.” Dengan suara pelan. Aku menolehnya, istilah itu aku belum pernah mendengar.

 

Perawat yang berganti shift bicara, “Ibu lebih jelasnya besok tanyain ke dokter, ya. Ibu sabar, tunggu besok penjelasan dokter.”

 

Suami mendekatiku, duduk di samping sebelah kiri, sambil mengelus-elus kaki, aku penasaran bertanya sekali lagi, “bener, Yah rahim diangkat?”

 

Suami menghela napas panjang lalu berkata, “iya.” Singkat tapi membuat sekujur tubuh semakin lemas.

 

“Yang penting sekarang, Ibu sehat dulu,” kata suami menenangkan, tapi tidak cukup membuat tenang, tidak … aku hancur.

 

Aku memiringkan badan ke kiri, meraba sesuatu yang bisa dipegang, bertanya dalam hati, benarkah ini nyata, ini mimpi kan? Aku masih berusia 38 tahun, masih relatif muda tapi mengapa? Mengapa harus aku? Dari sekian juta perempuan yang melahirkan di usia tiga puluhan bahkan empat puluhan di dunia kenapa harus aku yang mengalami ini. Aku terus bertanya pada diri sendiri, mengapa harus aku? 

 

Apa bedanya aku dengan transgender, mereka pun tak punya rahim bahkan mereka lebih cantik, aku tak lebih sama dengan mereka. Lalu aku merasa iri melihat nenek-nenek, berkulit keriput, berjalan bongkok, tapi masih memiliki rahim, mereka masih sempurna.

 

Bagaimana dengan masa depanku, masa depan rumah tanggaku. Berkelebat omongan orang-orang tentang wanita yang tak memiliki rahim, sungguh membuat kepercayaan diri pun sirna.

 

Cukup lama ruangan hening, hanya suara tut tut tut yang terdengar nyaring, aku dengan dengan ketakutanku, suami yang terus mengusap dengan menatapku sendu. Terlontar kata-kata yang begitu saja terlintas dalam pikiran, dengan suara bergetar menahan tangis, “Ayah … ayah masih muda, masih 39 tahun, Ayah cari istri yang lain, Ibu ….” Aku menjeda kalimat, “sudah nggak sama lagi.” Kalimat terakhir semakin pelan.

 

“Nggak ada kepikiran ke sana,” ucap suami.

 

Tak ada suara  tangisan yang tersedu-sedan hanya pipi yang semakin basah, aku menangis dalam diam.

 

Tengah malam, akhirnya aku dipindahkan dari ruang Pacu ke ruang rawat inap, Mawar Putih. Setelah sebelumnya perawat melaporkan kondisiku kepada dokter melalui via telepon. Aku menempati ruangan kelas dua, dengan tiga tempat tidur, tempatku berada di tengah-tengah.

 

Tak sabar rasanya menanti berganti hari, menanyakan perihal ini pada dokter.

 

-----

 

Pagi menjelang, waktu visit dokter pun tiba. Doker Arif selalu lebih pagi datang dibandingkan dengan dokter lain. Sebelum Dokter Arif menanyakan kondisiku, aku mendahului beliau bertanya.

 

“Dok, mengapa rahim saya diangkat?”

 

“Harus diangkat, Bu. Kalau tidak diangkat membahayakan Ibu. Ibu mengalami pendarahan banyak sekali, habis dua lho perlaknya. Takutnya yang tersisa berubah jadi tumor, kan lebih bahaya lagi. Misal suatu saat nanti ibu kebablasan hamil lagi, itu akan sangat beresiko terhadap nyawa Ibu sendiri. Kalau tidak diangkat Ibu akan kehilangan darah terus, darah Ibu habis gimana?”

 

“Sekarang tenangkan pikiran, yang penting Ibu pulih dulu, ya.”

 

“Masih lemes?”

 

“Iya, Dok.”

 

“Makan yang banyak, ya, jangan banyak pikiran.”

 

---

 

Identitas kebanggaan sebagai wanita yang melekat sekarang sudah hilang, mahkotaku lenyap dalam sekejap.

 

Entah berapa banyak lembar tisu yang terpakai, namun air mata ini enggan untuk berhenti. Berkali-kali mencoba memahami penjelasan dokter, tapi tak juga dapat kuterima. Pikiranku menerawang, mengingat-ingat, mengulang kejadian dari pertama kali datang ke klinik sampai hari operasi, diulang lagi lebih mundur, dari melahirkan sampai operasi, diulang lebih mundur lagi, dari semenjak hamil sampai operasi, diulang lagi, ulang lagi, terus begitu, berharap menemukan di mana letak kesalahan, kekeliruan, hingga aku bisa memaklumi keadaan dan dapat menerima penjelasan dokter. Tapi aku belum bisa meneriama dan terus bertanya,  why me? … why me?

 

Dalam satu  ruangan, kanan kiri sudah empat kali ganti pasien, semuanya kuret dengan kasus yang berbeda-beda. Setiap mereka bertanya, aku jawab, “diangkat rahim.” Semua memberikan reaksi yang sama, kaget dan sama- sama mengucapkan, ‘innalillahi’, ‘nauzubilah mindzalik’ atau ‘amit-amit jabang bayi’.  Ada yang mengucapkan dengan pelan ada juga yang berucap kencang. Ada yang langsung meraba perutnya sendiri, ada yang suaminya langsung mengelus perut istrinya, sambil berkata, “amit-amit ya, Neng. Neng jangan sampai kitu.”

 

Sakit?

 

Pasti.

 

Sedih?

 

Sangat.

 

Aku memilih duduk di bangku dekat taman, daripada berada di dalam berbaring di atas tempat tidur. Hembusan angin lembut menerpa wajah, berharap air mataku pun ikut terbang bersamanya. Desau angin seperti suara kidung lara di telingaku. Mentari yang senantiasa membuat bumi terang benderang, baru kali ini aku tak merasakan sinarnya. Hamparan taman yang luas tak bisa membuat sesak di dada berkurang. Rumput hijau bunga yang beraneka warna tak bisa membuat mataku ikut berbinar.

 

Duniaku seakaan sunyi.



Oleh : Neng Sri

No comments:

Post a Comment