Sayup-sayup terdengar
orang sedang berbincang, aku melihat sekeliling … sepi, lalu tak terdengar
suara lagi.
Aku terbangun kembali
mendengar suara orang-orang yang semakin ramai, berbicara tentang makanan,
minuman. Lalu salah satu perawat menghampiri, “Teteh sudah bangun?”
“Mana suami saya, Teh?”
Perkataan itu yang pertama kali terlontar.
“Suami Teteh lagi
keluar mungkin lagi cari makanan buat buka.” Aku ingat sekarang adalah bulan
Ramadhan.
“Teteh pingsan sudah
tiga jam, dari jam tiga.” Aku masih belum mencerna keadaan terlalu lemah
akhirnya tertidur lagi.
Terbangun lagi karena
mendengar suara adzan. “Suami saya mana?” Lagi aku menanyakan keberadaan suami.
“Mungkin lagi sholat
magrib dulu.”
“Teteh pake baju dulu,
ya!”
“Sini saya bantu,
geulis,” ucap perawat ramah. Aku melihat
ke bawah ada selimut dari rumah, di atas badan entah ada benda apa warnanya
mengkilap.
“Ayo sayang angkat
badannya sedikit, yap pinter.”
Selesai memakai baju
aku bertanya, “Teh perut saya kenapa sakit?”
“Ya ‘kan habis dioperasi
pasti sakit,” ketus perawat laki-laki, entah kapan datangnya.
“Operasi?” tanyaku
dalam benak, aku belum bisa berpikir dengan jernih badanku masih terlalu lemas.
Tertidur lagi.
“Gimana kalau saya,
golongan darahnya sama.”
“Nggak bisa, Bapak ‘kan
saum.”
Terbangun mendengar
suara suami, tapi mataku belum bisa melihat dengan jelas, samar.
“Ayah …,” lirih aku
memanggil. Mungkin karena terlalu pelan jadi tidak terdengar. Mataku terpejam
lagi.
Sayup-sayup terdengar
lagi orang-orang berbincang, aku buka mata, samar terlihat adik sepupu memabawa
tas, tidak tahu tas apa. Terpejam lagi.
Entah jam berapa aku
terbangun kembali, sunyi … hanya suara tut, tut, tut yang terdengar jelas.
Kurasakan tangan kanan dan kiriku terpasang alat, di depan tempat aku berbaring
ada meja perawat di belakangnya ada lemari kaca. Aku bisa melihat melalui
pantulan kaca, ada monitor di atas kepala
sebelah kanan, tangan terpasang sebuah alat, entah apa yang pasti alat itu akan
mengembung berapa menit sekali. Lalu aku melirik ke sebelah kiri, ah … ternyata
aku sedang ditranfusi, dan ada suami tak jauh berdiri dekat aku terbaring.
“Yah ….” Suami mendekat.
“Perut sakit,”
rintihku.
“Sabar, ya.” Sambil
mengelus kakiku.
“Pengen minum,”
rengekku.
“Nanti. Tunggu, sabar,
ya.”
Tak berlangsung lama
datang perawat yang lain, sepertinya ganti shift, berjalan menuju meja dan
berbincang. Setelah selesai berbincang dengan teman sejawatnya lalu berjalan
mendekat ke arahku, suami mundur untuk memberikan keleluasaan padanya. Setelah
selesai memeriksa kondisi, perawat tersebut mengampiri suami.
“Betul, Pak, ini tuh?”
tanyanya.
“Iya, betul, diangkat,”
jawab suami.
Aku bingung segaligus kaget.
“Diangkat apa, Yah?
Rahim? Kata dokter disteril?”
Langsung hening.
Beberapa saat tidak ada
yang berani berbicara, sampai akhirnya perawat yang satu berkata.
“Iya, histerektomi.”
Dengan suara pelan. Aku menolehnya, istilah itu aku belum pernah mendengar.
Perawat yang berganti
shift bicara, “Ibu lebih jelasnya besok tanyain ke dokter, ya. Ibu sabar,
tunggu besok penjelasan dokter.”
Suami mendekatiku,
duduk di samping sebelah kiri, sambil mengelus-elus kaki, aku penasaran
bertanya sekali lagi, “bener, Yah rahim diangkat?”
Suami menghela napas
panjang lalu berkata, “iya.” Singkat tapi membuat sekujur tubuh semakin lemas.
“Yang penting sekarang,
Ibu sehat dulu,” kata suami menenangkan, tapi tidak cukup membuat tenang, tidak
… aku hancur.
Aku memiringkan badan
ke kiri, meraba sesuatu yang bisa dipegang, bertanya dalam hati, benarkah ini
nyata, ini mimpi kan? Aku masih berusia 38 tahun, masih relatif muda tapi
mengapa? Mengapa harus aku? Dari sekian juta perempuan yang melahirkan di usia
tiga puluhan bahkan empat puluhan di dunia kenapa harus aku yang mengalami ini.
Aku terus bertanya pada diri sendiri, mengapa harus aku?
Apa bedanya aku dengan
transgender, mereka pun tak punya rahim bahkan mereka lebih cantik, aku tak
lebih sama dengan mereka. Lalu aku merasa iri melihat nenek-nenek, berkulit
keriput, berjalan bongkok, tapi masih memiliki rahim, mereka masih sempurna.
Bagaimana dengan masa
depanku, masa depan rumah tanggaku. Berkelebat omongan orang-orang tentang
wanita yang tak memiliki rahim, sungguh membuat kepercayaan diri pun sirna.
Cukup lama ruangan
hening, hanya suara tut tut tut yang terdengar nyaring, aku dengan dengan
ketakutanku, suami yang terus mengusap dengan menatapku sendu. Terlontar kata-kata
yang begitu saja terlintas dalam pikiran, dengan suara bergetar menahan tangis,
“Ayah … ayah masih muda, masih 39 tahun, Ayah cari istri yang lain, Ibu ….” Aku
menjeda kalimat, “sudah nggak sama lagi.” Kalimat terakhir semakin pelan.
“Nggak ada kepikiran ke
sana,” ucap suami.
Tak ada suara tangisan yang tersedu-sedan hanya pipi yang
semakin basah, aku menangis dalam diam.
Tengah malam, akhirnya
aku dipindahkan dari ruang Pacu ke ruang rawat inap, Mawar Putih. Setelah
sebelumnya perawat melaporkan kondisiku kepada dokter melalui via telepon. Aku
menempati ruangan kelas dua, dengan tiga tempat tidur, tempatku berada di
tengah-tengah.
Tak sabar rasanya
menanti berganti hari, menanyakan perihal ini pada dokter.
-----
Pagi menjelang, waktu
visit dokter pun tiba. Doker Arif selalu lebih pagi datang dibandingkan dengan
dokter lain. Sebelum Dokter Arif menanyakan kondisiku, aku mendahului beliau
bertanya.
“Dok, mengapa rahim
saya diangkat?”
“Harus diangkat, Bu.
Kalau tidak diangkat membahayakan Ibu. Ibu mengalami pendarahan banyak sekali,
habis dua lho perlaknya. Takutnya yang tersisa berubah jadi tumor, kan lebih
bahaya lagi. Misal suatu saat nanti ibu kebablasan hamil lagi, itu akan sangat
beresiko terhadap nyawa Ibu sendiri. Kalau tidak diangkat Ibu akan kehilangan
darah terus, darah Ibu habis gimana?”
“Sekarang tenangkan
pikiran, yang penting Ibu pulih dulu, ya.”
“Masih lemes?”
“Iya, Dok.”
“Makan yang banyak, ya,
jangan banyak pikiran.”
---
Identitas kebanggaan
sebagai wanita yang melekat sekarang sudah hilang, mahkotaku lenyap dalam
sekejap.
Entah berapa banyak
lembar tisu yang terpakai, namun air mata ini enggan untuk berhenti.
Berkali-kali mencoba memahami penjelasan dokter, tapi tak juga dapat kuterima.
Pikiranku menerawang, mengingat-ingat, mengulang kejadian dari pertama kali
datang ke klinik sampai hari operasi, diulang lagi lebih mundur, dari
melahirkan sampai operasi, diulang lebih mundur lagi, dari semenjak hamil
sampai operasi, diulang lagi, ulang lagi, terus begitu, berharap menemukan di
mana letak kesalahan, kekeliruan, hingga aku bisa memaklumi keadaan dan dapat
menerima penjelasan dokter. Tapi aku belum bisa meneriama dan terus
bertanya, why me? … why me?
Dalam satu ruangan, kanan kiri sudah empat kali ganti
pasien, semuanya kuret dengan kasus yang berbeda-beda. Setiap mereka bertanya,
aku jawab, “diangkat rahim.” Semua memberikan reaksi yang sama, kaget dan sama-
sama mengucapkan, ‘innalillahi’, ‘nauzubilah mindzalik’ atau ‘amit-amit jabang
bayi’. Ada yang mengucapkan dengan pelan
ada juga yang berucap kencang. Ada yang langsung meraba perutnya sendiri, ada
yang suaminya langsung mengelus perut istrinya, sambil berkata, “amit-amit ya,
Neng. Neng jangan sampai kitu.”
Sakit?
Pasti.
Sedih?
Sangat.
Aku memilih duduk di
bangku dekat taman, daripada berada di dalam berbaring di atas tempat tidur.
Hembusan angin lembut menerpa wajah, berharap air mataku pun ikut terbang
bersamanya. Desau angin seperti suara kidung lara di telingaku. Mentari yang
senantiasa membuat bumi terang benderang, baru kali ini aku tak merasakan
sinarnya. Hamparan taman yang luas tak bisa membuat sesak di dada berkurang.
Rumput hijau bunga yang beraneka warna tak bisa membuat mataku ikut berbinar.
Duniaku seakaan sunyi.
No comments:
Post a Comment