Setiap masuk bulan
Juli, mengingatkan aku pada peristiwa lima tahun silam. Sebuah peristiwa yang
mampu membuat kepercayaan diri sebagai istri turun drastis pada palung yang
terdalam, yang meluluhlantakkan hati dan jiwa bagaikan debu yang tertiup angin
kencang, memorak-porandakan diri merasa menjadi wanita yang tak bernilai lagi …
cacat seumur hidup.
Meskipun sudah berlalu
puluhan purnama namun kilasan kejadian masih terekam jelas dalam ingatan,
setiap jam, setiap kata, setiap gerak masih terekam utuh dalam memori otak.
Seperti sebuah film yang akan terus berputar menayangkan setiap adegan demi
adegan dan ada aku sebagai pemeran utama.
Diperlukan waktu yang
lama untuk dapat berkata dengan lantang let
it go … let it go. Butuh perenungan, muhasabah untuk dapat mengambil
pelajaran dari peristiwa tersebut. Perlu proses untuk sampai pada kata ikhlas
yang melibatkan banyak air mata. Dalam perjalanan hidup, ini merupakan sebuah ujian yang terberat.
Hidupku dan bulan Juli ada hubungan yang romantis di dalamnya.
----------
Hari senin tanggal 6,
kami memutuskan untuk konsultasi kembali dengan Dokter kandungan Arif, karena
beliau mempunyai rekam medik lengkap semenjak keguguran tahun 2013. Hari yang
cerah, aku sangat bersemangat, aku yakin ini adalah akhir dari sebuah ikhtiar
kesembuhan.
“Ada penebalan di
dinding rahim, jika usaha lain sudah dilakukan kita ambil tindakan kuret untuk membersihkan.”
“Kartu BPJS-nya dibawa?”
“Dibawa, Dok.”
“Bagus kalau begitu,
saya bikin surat pengantar, berikan langsung ke IGD, nanti tindakan akan
dilakukan jam 11.”
Sungguh itu adalah
perkataan yang ditunggu, karena menurut pemikiranku, waktu lahir anak kedua ada
sisa plasenta dan sepuluh hari dari melahirkan dilakukan kuret. Ada binar
bahagia di mataku, hatiku membuncah, ini adalah akhir dari penderitaan,kecemasan,
ketakutan yang selama ini didera.
Karena sudah mengalami
kuret dua kali jadi aku tahu apa saja yang harus di siapkan. Di dalam tas sudah
ada, kartu BPJS, kartu keluarga, KTP, baju ganti, sarung, pakaian dalam,
pembalut.
Jarak rumah sakit
dengan klinik Dokter Arif sangatlah dekat, tinggal menyebrang, aku langsung
menelpon mamah yang sedang menjaga anak-anak di rumah, minta do’anya supaya
dilancarkan.
Ruangan IGD kebidanan
hari itu ramai, aku memberikan kertas kepada perawat yang sedang bertugas di
belakang meja, kubaca terlebih dulu surat yang ada di tangan, ‘post partum,’
gumamku.
“Wah post partum,
tindakan jam 11,” ucap salah satu perawat.
“Sekarang jam? Sebentar
lagi,” ucapnya lagi.
“Cepat siapkan tempat!”
teriak perawat satu lagi.
Setelah melalui serangkaian
tindakan di IGD, aku dibawa ke ruangan Seruni, di sana Dokter Arif sudah
menunggu. Di dalam ruangan ada pasien beliau satu lagi, ibu setengah baya
dengan kasus kista.
“Ibu saya ikat tangan
dan kakinya, takutnya nanti ibu dalam keadaan tidak sadar bergerak dan jatuh.”
Kata salah satu perawat
yang bertubuh tinggi besar –sepertinya senior-dengan suara tegas.
“Ibu berdo’a, supaya
lancar, Bismillah jangan tegang rileks aja cuma sebentar.”
Jujur aku tegang,
berbeda dengan kuret terdahulu tidak setegang ini, mungkin karena dulu dilakukan
di Bandung ada kakak ipar yang bertugas di bagian kebidanan, banyak keluarga
yang mendampingi sedangkan di Sukabumi tidak punya sanak saudara hanya didampingi
suami.
“Dokter mau yang mana
dulu.”
“Kuret dulu.”
“Dok, 130.”
“Ibu jangan tegang Bu,
Ibu tidur, rileks aja.”
Aku paksakan menutup
mata, sepertinya obat anestesi sudah mulai bekerja. Aku merasa baru saja
terlelap, ada yang menepuk tangan kiri agak sedikit kencang.
“Ibu, Ibu bangun Bu,
kuretnya sudah selesai Ibu akan dipindahkan ke ruangan lain.”
Kepalaku tidak dapat diangkat
terlalu lemah, hanya bisa melirik ke kiri ke kanan ke bawah, tapi telinga masih
mendengar jelas. Aku merasakan dokter menutup dengan semacam tisu, bukan …
bukan menutup tapi menyumpal, karena aku bisa merasakan tetesan di bawah
sana. Aku mendengar langkah kaki
berlari, melihat suamiku melintas lalu menutup bagian bawahku dengan kain.
“Ibu bangun Bu, Ibu
akan dipindahkan, sekarang Ibu pindah ke sini kami akan bantu, ya.”
Aku hanya bisa
mengangguk lemah, dipindahan ke brankar lain dan dibawa menuju ruangan berbeda.
Aku mendengar kegaduhan, dari ujung mata aku melihat cukup banyak orang lalu
lalang dengan suara langkah kaki tergesa-gesa. Aku masih merasakan di bawah
sana terus menetes. Sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar, disambut
oleh beberapa orang yang berseragam hijau, wajah-wajah tegang terlihat. Aku
masuk ke ruangan dengan pencahyaan tinggi, suara gaduh semakin kentara.
“Dokter, 170.”
“Dok, ganti aja sudah
penuh darah.”
“Iya.”
“Ibu, cobi angkat
imbitna sakedap.”
“Ibu, Ibu pegang jempol
saya kuat-kuat ya, Bu, yang kuat, Bu, lagi Bu yang kuat.”
“Jang, Ujang ini
ketemu.”
“Ibu tanda tangan di
sini.”
Salah seorang
menyodorkan selember kertas.
“ Saya mau diapain?”
tanyaku dengan suara lirih.
“Ibu akan diperiksa
penyebab pendarahan.” Orang tersebut membantuku memegang bolpen, entah benar
atau tidak tanda tanganku, aku tak bisa melihat jelas.
Lampu di atas badan
sangat terang sekali, membuat mataku silau, aku tidak bisa berpikir, hanya bisa
mendengar, mataku terlalu lemah sekarang untuk bisa melirik ke kiri ataupun ke
kanan.
“Ibu, coba angkat sedikit
punggungnya.”
“Ibu, kita akan coba
menyelamatkan rahim Ibu, mungkin akan di jahit.”
Samar terdengar
orang-orang berbisik. Beberapa saat kemudian.
“Ibu ternyata rahim Ibu
tidak bisa dijahit, kami sudah mendapat persetujuan dari suami Ibu.”
Terdengar di sebelah
kiri, aku kenal suara itu, suara Dokter Arif,
dengan nafas terengah-engah.
“Ibu apa waktu di
Bandung dokter tidak menganjurkan kuret atau Ibu yang menolak untuk di kuret?’
tanya perawat yang bersuara tegas.
“Nggak, kata dokter
nggak usah dikuret sudah bersih.” Aku menjawab dengan suara lirih.
“Ibu … Ibu akan disteril,
ya.”
Dan itu adalah suara
terakhir yang terdengar, setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi.
No comments:
Post a Comment