Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Sunday, 31 May 2020

Histerektomi #Part1


literasi,histeroktemi,rahim,cerpen,novel,pendarahan,postpartum




Ijinkan aku berbagi secuil kisah perjalanan hidup. Mudah-mudahan pembaca dapat mengambil pelajaran dan memahami arti kata bersyukur.

-----




Setiap masuk bulan Juli, mengingatkan aku pada peristiwa lima tahun silam. Sebuah peristiwa yang mampu membuat kepercayaan diri sebagai istri turun drastis pada palung yang terdalam, yang meluluhlantakkan hati dan jiwa bagaikan debu yang tertiup angin kencang, memorak-porandakan diri merasa menjadi wanita yang tak bernilai lagi … cacat seumur hidup.

 

Meskipun sudah berlalu puluhan purnama namun kilasan kejadian masih terekam jelas dalam ingatan, setiap jam, setiap kata, setiap gerak masih terekam utuh dalam memori otak. Seperti sebuah film yang akan terus berputar menayangkan setiap adegan demi adegan dan ada aku sebagai pemeran utama.

 

Diperlukan waktu yang lama untuk dapat berkata dengan lantang let it go … let it go. Butuh perenungan, muhasabah untuk dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Perlu proses untuk sampai pada kata ikhlas yang melibatkan banyak air mata. Dalam perjalanan hidup,  ini merupakan sebuah ujian yang terberat. Hidupku dan bulan Juli ada hubungan yang romantis di dalamnya.

 

----------

 

Hari senin tanggal 6, kami memutuskan untuk konsultasi kembali dengan Dokter kandungan Arif, karena beliau mempunyai rekam medik lengkap semenjak keguguran tahun 2013. Hari yang cerah, aku sangat bersemangat, aku yakin ini adalah akhir dari sebuah ikhtiar kesembuhan.

 

“Ada penebalan di dinding rahim, jika usaha lain sudah dilakukan kita ambil tindakan kuret  untuk membersihkan.”

 

“Kartu BPJS-nya dibawa?”

 

“Dibawa, Dok.”

 

“Bagus kalau begitu, saya bikin surat pengantar, berikan langsung ke IGD, nanti tindakan akan dilakukan jam 11.”

 

 

Sungguh itu adalah perkataan yang ditunggu, karena menurut pemikiranku, waktu lahir anak kedua ada sisa plasenta dan sepuluh hari dari melahirkan dilakukan kuret. Ada binar bahagia di mataku, hatiku membuncah, ini adalah akhir dari penderitaan,kecemasan, ketakutan yang selama ini didera.

 

Karena sudah mengalami kuret dua kali jadi aku tahu apa saja yang harus di siapkan. Di dalam tas sudah ada, kartu BPJS, kartu keluarga, KTP, baju ganti, sarung, pakaian dalam, pembalut.

 

Jarak rumah sakit dengan klinik Dokter Arif sangatlah dekat, tinggal menyebrang, aku langsung menelpon mamah yang sedang menjaga anak-anak di rumah, minta do’anya supaya dilancarkan.

 

Ruangan IGD kebidanan hari itu ramai, aku memberikan kertas kepada perawat yang sedang bertugas di belakang meja, kubaca terlebih dulu surat yang ada di tangan, ‘post partum,’ gumamku.

 

“Wah post partum, tindakan jam 11,” ucap salah satu perawat.

 

“Sekarang jam? Sebentar lagi,” ucapnya lagi.

 

“Cepat siapkan tempat!” teriak perawat satu lagi.

 

Setelah melalui serangkaian tindakan di IGD, aku dibawa ke ruangan Seruni, di sana Dokter Arif sudah menunggu. Di dalam ruangan ada pasien beliau satu lagi, ibu setengah baya dengan kasus kista.

 

“Ibu saya ikat tangan dan kakinya, takutnya nanti ibu dalam keadaan tidak sadar  bergerak dan jatuh.”

 

Kata salah satu perawat yang bertubuh tinggi besar –sepertinya senior-dengan suara tegas.

 

“Ibu berdo’a, supaya lancar, Bismillah jangan tegang rileks aja cuma sebentar.”

 

Jujur aku tegang, berbeda dengan kuret terdahulu tidak setegang ini, mungkin karena dulu dilakukan di Bandung ada kakak ipar yang bertugas di bagian kebidanan, banyak keluarga yang mendampingi sedangkan di Sukabumi tidak punya sanak saudara hanya didampingi suami.

 

“Dokter mau yang mana dulu.”

 

“Kuret dulu.”

 

“Dok, 130.”

 

“Ibu jangan tegang Bu, Ibu tidur, rileks aja.”

 

Aku paksakan menutup mata, sepertinya obat anestesi sudah mulai bekerja. Aku merasa baru saja terlelap, ada yang menepuk tangan kiri agak sedikit kencang.

 

“Ibu, Ibu bangun Bu, kuretnya sudah selesai Ibu akan dipindahkan ke ruangan lain.”

 

Kepalaku tidak dapat diangkat terlalu lemah, hanya bisa melirik ke kiri ke kanan ke bawah, tapi telinga masih mendengar jelas. Aku merasakan dokter menutup dengan semacam tisu, bukan … bukan menutup tapi menyumpal, karena aku bisa merasakan tetesan di bawah sana.  Aku mendengar langkah kaki berlari, melihat suamiku melintas lalu menutup bagian bawahku dengan kain.

 

“Ibu bangun Bu, Ibu akan dipindahkan, sekarang Ibu pindah ke sini kami akan bantu, ya.”

 

Aku hanya bisa mengangguk lemah, dipindahan ke brankar lain dan dibawa menuju ruangan berbeda. Aku mendengar kegaduhan, dari ujung mata aku melihat cukup banyak orang lalu lalang dengan suara langkah kaki tergesa-gesa. Aku masih merasakan di bawah sana terus menetes. Sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar, disambut oleh beberapa orang yang berseragam hijau, wajah-wajah tegang terlihat. Aku masuk ke ruangan dengan pencahyaan tinggi, suara gaduh semakin kentara.

 

“Dokter, 170.”

 

“Dok, ganti aja sudah penuh darah.”

 

“Iya.”

 

“Ibu, cobi angkat imbitna sakedap.”

 

“Ibu, Ibu pegang jempol saya kuat-kuat ya, Bu, yang kuat, Bu, lagi Bu yang kuat.”

 

“Jang, Ujang ini ketemu.”

 

“Ibu tanda tangan di sini.”

 

Salah seorang menyodorkan selember kertas.

 

“ Saya mau diapain?” tanyaku dengan suara lirih.

 

“Ibu akan diperiksa penyebab pendarahan.” Orang tersebut membantuku memegang bolpen, entah benar atau tidak tanda tanganku, aku tak bisa melihat jelas.

 

Lampu di atas badan sangat terang sekali, membuat mataku silau, aku tidak bisa berpikir, hanya bisa mendengar, mataku terlalu lemah sekarang untuk bisa melirik ke kiri ataupun ke kanan.

 

“Ibu, coba angkat sedikit punggungnya.”

 

“Ibu, kita akan coba menyelamatkan rahim Ibu, mungkin akan di jahit.”

 

Samar terdengar orang-orang berbisik. Beberapa saat kemudian.

 

“Ibu ternyata rahim Ibu tidak bisa dijahit, kami sudah mendapat persetujuan dari suami Ibu.”

 

Terdengar di sebelah kiri, aku kenal suara itu, suara Dokter Arif,  dengan nafas terengah-engah.

 

“Ibu apa waktu di Bandung dokter tidak menganjurkan kuret atau Ibu yang menolak untuk di kuret?’ tanya perawat yang bersuara tegas.

 

“Nggak, kata dokter nggak usah dikuret sudah bersih.” Aku menjawab dengan suara lirih.

 

“Ibu … Ibu akan disteril, ya.”

 

Dan itu adalah suara terakhir yang terdengar, setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi.




Oleh : Neng Sri

No comments:

Post a Comment