Pada suatu hari.
“Yah,” panggilku.
“Hm.” Matanya terkonsentrasi pada laptop.
“Masih cinta nggak?” pertanyaan untuk yang kesekian kali.
Suami tidak menjawab, menoleh dengan pandangan jengah, aku? biasa aja, karena sudah tahu reaksinya akan seperti itu.
Tetapi aku tetap merajuk manja, dengan menarik-narik ujung kaosnya, “masih sayang, nggak?”, akhirnya suami menjawab dengan raut muka kesal, “sayang itu sudah satu paket sama cinta, nggak usah di tanya lagi itu, kalo cinta otomatis pasti sayang.”
Kali ini aku beruntung suami mau menjawab, biasanya hanya menatap sebal tanpa keluar kata-kata.
Pada suatu malam menjelang tidur.
“Yah, apa yang bikin ayah suka terus jatuh cinta sama Ibu?”
“Ck, tidur udah malem, Bu.”
Dan lagi ini bukan pertanyaan yang pertama diajukan, entah yang ke berapa kali.
Di lain waktu.
“Yah, kenapa Ayah mau nikah sama Ibu? Padahal Ibu dari keluarga biasa-biasa saja, Mamah sama Bapak nggak punya gelar haji, ngak kaya raya seperti besan yang lain.”
“Jangan mulai bikin sinetron deh, Bu, keseringan nonton film India.” Suami bersungut, di lihat raut wajahnya pasti gemas, karena pertanyaan ini bukan yang pertama kali.
Jangan harap akan di jawab dengan romantis seperti di novel-novel percintaan, karena menurutnya kata-kata yang ada di novel bahasanya tingkat tinggi, nggak ngerti, lebih gampang di mengerti bahasa coding pemograman.
“Yang bagus itu baca buku komik manga atau nonton kartun Jepang, bikin happy, pikiran bebas, nggak ngejelimet, pesan untuk berjuang, pantang menyerahnya dapet.” Alasannya.
Nunggu suami berkata romantis, seperti mengharap siput juara pada lomba lari maraton cheetah.
Terkadang aku mengirim pesan yang tidak bermutu, setidaknya itu menurutnya.
[Ayah, aku jatuh.]
[Siapa yang jatuh?]
[Apa yang sakit, di mana?]
Terlihat ada panggilan, aku terkikik menahan tawa, kubayangkan raut mukanya yang sedang panik, kubiarkan ponsel berdering, sekali dua kali tidak diangkat. Aku tersenyum puas.
[Aku … aku jatuh cinta padamu.]
[Kirain beneran.]
Selanjutnya suami mengirim emotikon tepok jidat, di susul emotikon hati dan cium.
Pada suatu hari ketika suami pergi ke Pelabuhan Ratu bersama rekan kerjanya dan aku membuat siomay untuk bekal perjalanan mereka.
[Kata anak-anak, terima kasih siomaynya enak]
Selanjutnya mengirim emotikon cium satu.
[Kok ciumnya cuma satu]
Hanya diread.
[Pengen yang banyak ciumnya]
Masih diread.
[Mana?]
Tetap diread.
[Pelit]
Lalu tak berselang lama terkirim emotikon cium berjajar.
Terkadang kalau ada keinginan tapi suami enggan memenuhi, aku akan bilang, “Ayah memang sudah berubah, nggak seperti dulu sebelum nikah.” Dan dilanjut dengan merajuk sepanjang jalan kenangan, membandingkan perlakuannya sebelum menikah. Dan suami pun pada akhirnya akan luluh entah karena enggan untuk mendengar lagi ocehan atau karena tatapan memelas istrinya. Oh ya Tuhan, ternyata aku sedrama begitu.
Pernah suatu hari ketika aku sedang berada di Bandung, suami mengirimkan stiker ‘I Love You’, tulisan selanjutnya dia mengirim ‘jangan bilang tumben’. Aku tertawa sepertinya terjadi pergolakan batin untuk bisa mengirimkan chat seperti itu, mengakui perasan rindu karena berjauhan itu butuh perjuangan untuknya.
Tepat hari ini usia pernikahan kami memasuki angka cantik, sweet seventeen. Suatu pencapain yang tidak bisa di bilang sebentar, ini merupakan sebuah rejeki, karena rejeki tidak hanya melulu soal uang, pasangan setia itu juga rejeki.
Kami tidak risau dengan kata mantan, karena kami masing-masing tidak mempunyai mantan. Suami adalah pacar pertama dan aku adalah pacar pertamanya. Fisrt love? Bisa jadi iya. Apakah dulu kami pernah menyukai orang lain sebelum menikah? pernah tapi hanya sebatas suka bukan cinta.
Ini adalah secuil kisah bahagia kami, lebih tepatnya kisah absurd bin alay istri kalau suami dari dulu tetap stay calm. Dan masih banyak kisah suka daripada duka di dalamnya. Aku berharap kisah bahagia ini tidak terputus sampai sini, tapi berlanjut pada usia pernikahan dua puluh, tiga puluh tahun dan seterusnya.
Dan untuk suamiku, tetap bersabar mengadapi aku, istri yang jauh dari kata ideal apalagi sebagai istri sholehah. I am the luckiest women in the world, having you as my husband.
oleh Neng Sri
mantap pa
ReplyDeletetengkyu
Delete