Semalaman hujan tiada berhenti, meskipun hanya rintik kecil
tapi mampu membasahkan bumi. Residu kehadirannya masih terlihat dari tetesan
air pada ujung daun-daun. Hingga pagi ini, hari libur yang berselimut mendung, raga
enggan beranjak masih betah bermanja
dengan bantal dan guling. Aku duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk di atas
ranjang, percikan hujan hinggap hingga di kaca jendela kamar. Aku memainkan
embun yang ada pada kaca, jari-jariku meliuk-liuk pelan membentuk sebuah kata,
lalu berhenti seketika. Aku terperanjat, ternyata mendung di temani petir yang
menggelegar, padahal cakrawala belum menurunkan air.
Aku tarik tangganku, lalu memandang deretan kata-kata yang
berhasil diukir, ternyata ada banyak kata ‘Aa’ di sana. Seorang lelaki yang
telah berhasil menyedot hati dan pikiran sejak berumur tiga belas tahun.
Duniaku terpenuhi oleh sosok dirinya, aku mendesah resah.
Kembali aku memutar ulang pertemuan kemarin, rasa pilu masih
menghuni kalbu. Apakah dia merasakan keresahan juga? Teringat sebuah benda yang
diberikan padaku, bergeser sedikit mengambilnya di bawah bantal.
“Ini buat Neng. Untuk komunikasi kita biar cepet, nggak usah
nunggu pos lagi kalau pengen tahu kabar, Neng.”
Aku menolak, bukan tidak mau tapi tidak terbiasa dengan
pemberian barang mahal. Dia memaksa, “ini untuk menunjang usaha kita mendapat
restu, Neng.” Alasannya.
Lalu aku akhirnya menerima benda tersebut, “nanti aku ganti,
ya, A. Berapa harganya?”
“Ck … Neng sayang nggak sih sama Aa? Serius nggak? Aa ini
siapanya Neng? Inget janji, Neng.” Kulihat keningnya berkerut, bulu alisnya
hampir bertemu, intonasi suaranya sedikit tajam.
Aku terkesiap, tidak sangka pertanyaanku membuat dirinya
tersinggung. Aku yang tidak siap dengan amarahnya, menjadi sedikit menunduk.
“Neng cuma nggak biasa dibeliin barang mahal sama orang lain,
Aa.”
Sadar aku menjawab sendu, dia mengulur meraih tanganku dan
mengelusnya, “maaf, Aa sudah berkata kasar. Terima ya, Neng. Ini hadiah buat
Neng sebagai tanda Aa nggak main-main sama janji. Aa sungguh-sungguh ingin
menikah sama Neng, kita sedang tersandung masalah restu, kalau ada sesuatu ‘kan
bisa langsung tahu, kita jadi bisa susun rencana dengan matang, Neng ngerti,
‘kan maksud Aa?” Dia menjelaskan dengan suara lembut.
Nokia 3310 berada dalam genggaman, menimbang, haruskah aku
menghubunginya? Tiba-tiba aku terperanjat, dari balik jendela kaca kurang lebih
sepuluh meter terlihat pasangan sedang berjalan pelan menuju rumah. Aku tak
percaya, benarkah mereka datang? ‘bukan, itu bukan mereka,’ gumamku. Mulut bisa
berkata bukan tapi hati kecil mengiyakan.
Aku bangkit dengan tangan menutup mulut, lalu bergegas keluar kamar,
menuju pintu rumah, ternyata hati kecil tak pernah salah, mereka adalah guruku
sewaktu SMP bersama suaminya, orang tua lelakiku.
Ada apa mereka kemari? Berkecamuk pertanyaan dalam pikiran, masih
terlalu pagi jika berkunjung. Sesaat aku linglung, harus bagaimana. Masuk ke
kamar, membuka lemari dan bercermin, penampilan masih semrawut, tak mungkin,
‘kan aku menemui mereka dengan penampilan yang memalukan. Masuk ke kamar mandi,
hanya lima menit berada di sana, masuk lagi ke kamar dan merapihkan penampilan.
Aku lari ke belakang, menuju Bapak dan Mamah yang sedang
berada di dapur, memberitahu siapa yang sedang berjalan kemari. Dengan
terbata-bata, “Pak, Mamah, i-itu a-ada …,” belum sempat menyelesaikan kalimat, terdengar
ketukan pintu depan, di susul suara “asalammu'alaikum.” Itu pasti Bapak Syarif
Wiranatakusumah, kami saling berpandangan, mereka mengerutkan dahi “siapa itu,
Neng?” Perasaan was-was mulai melanda, kemudian Mamah dan Bapak berjalan menuju
ke ruang tamu, “waalaikumsalam.” Mamah menjawab.
Tak lama kemudian Mamah kembali ke dapur, “Neng itu orang tua
Aa, katanya mau jahit baju seragam ….” Beliau tidak melanjutkan, kata
terakhirnya terdengar pelan.
“Seragam apa, Mah?” tanyaku penasaran.
“Seragam buat acara lamaran … si Aa.”
Duaarr
Suara Mamah terdengar pelan di telinga, tapi bagaikan suara
petir yang menggelegar pada kalbu, tersentak seketika, kilatan listriknya mampu
menyengat jantung. Setitik harapan masih kugenggam kemarin, tapi sekarang
hangus terbakar.
Aku limbung, tulang seakan lepas dari raga, tak kuat
menopang, segera mencari pegangan pada kursi, lalu mengempaskannya. Aku menangis
tanpa suara isakkan, pipi yang basah menandakan pedih itu ada. Ini bukan
lah bunga tidur, pagi ini adalah nyata adanya.
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment