Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Wednesday, 4 December 2019

Menggenggam Janji #Part-4

literasi,cerpen,cerbung,novel,janji,genggam


Di sepakati sebuah tempat makan dengan konsep lesehan kami bertemu. Sebuah tempat makan yang berdiri di area pesawahan, bulir padi sudah menguning, angin menyapanya menampilkan tarian lembut, sang surya hadir tanpa ada keraguan memberikan sinarnya, terdengar suara nyaring menghalau sang pencuri bersayap.

Kami saling membisu, entah bagaimana memulai pembicaraan. Dari raut mukanya dapat kuartikan, ada banyak pikiran yang sedang bersarang.

Makanan yang kami pesan, tidak dapat mengubah keadaan, padahal yang terhidang menu kesukaan.

Lelakiku … sungguh aku tak tega melihat aura kesedihannya. Dia menghela napas panjang seakan ada beban yang menghimpit.

“Aa.” Aku memecah keheningan.

“Iya, Neng.” Pelan nyaris tak terdengar, dapat kulihat netranya sedikit mengembun.

“Aa, kenapa? Cerita sama Neng. Apa ini menyangkut restu?”

Dia tidak menjawab, perlahan tangannya terulur meraih jari telunjukku yang berada di atas meja lalu  mengelusnya dengan lembut, persis seperti dulu, tapi pandangan netranya melihat ke bawah.

“Aa, iya, 'kan?”

Dia tetap tidak menjawab. Aku mendesah. Aku pegang jemarinya, elusannya terhenti, kutatap wajahnya, dia pun akhirnya ikut menatap, tanpa terucap, aku pun sudah tahu jawabannya. Melihat netranya yang bersemayam duka membuat netraku ikut mengembun. Genggaman tangan kami semakin erat, ada kekhawatiran di sana.

“Neng, Aa pernah bilang janji setia, kan waktu di perpustakaan?”

“Hhm.” Sulit bagiku untuk mengeluarkan kata-kata. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

“Janji adalah sumpah, pantang bagi Aa melanggar sumpah. Tuhan memberikan ujian sama Aa, sebuah pilihan yang sulit.”

Aku menunduk, embun yang menggantung berubah menjadi isakkan. Pradugaku mengatakan ada perempuan lain yang  sudah dipilih orang tuanya. Dada penuh dengan gumpalan, menghantam, membuat sulit bernapas sungguh sesak di rasa.

“Neng, lihat Aa, sayang.”

Aku menggeleng. Tak sanggup harus melihatnya, takut ini pertemuan terakhir dengannya.

“Neng, kan sudah menyanggupi mau berjuang bareng.”

Aku mengangguk. Tangannya meremas lembut tangganku. Sebuah desir halus menyapa, masuk ke relung kalbu tapi suka beriringan duka menghampiri, membuat raga tak bertenaga.

“Ingat waktu upacara dulu waktu SMP? Lalu takdir kita bertemu lagi, kan? Ada tangan Allah di sana. Waktu Aa di Magelang, nama Neng tak pernah absen dalam do’a sampai sekarang pun Aa selalu minta, Neng wanita pertama dan terakhir yang mendampingi Aa. Aa yakin kalau Neng jodoh Aa.”

Mengenang pertama kali bertemu dan keyakinannya, membuat isakkan semakin menjadi. Tak kuasa menahan lara aku tergugu, perlahan kutegakkan kepala, menatap sendu lelakiku.

“Aa minta, Neng  bersabar. Kita sama-sama berdoa, ya. Udah janji, 'kan?”

Aku kembali menunduk, ketakutan menguasai diri, bukan tak mau menepati janji  tapi sulit rasanya melawan kekuasaan, nyali menciut, mengingat siapa aku.

“Neng, sayang … kanyaah Aa,  lihat ke sini geulis.”

Mendengar rayuannya aku mendongkak.

“Berjuang bareng, ya?”

Sesaat kami saling menatap, hening, hanya suara cicit burung dan desau angin yang meramaikan, ada duka di sana  tapi kedewasaannya mengalihkan, dia tersenyum, senyum yang terlalu di paksakan. Aku mengangguk ragu.

“Aa yakin orang tua Aa suatu saat nanti hatinya akan mencair, restu itu pasti kita dapat, yakinlah, Neng.”

Dia mencondongkan badan, tangannya terulur, menghapus sisa air mata dengan ibu jari. Aku meremas jemarinya, mencari kekuatan dalam setiap remasan.

“Jangan nangis lagi. Nanti Aa pergi dinas ninggalin Neng, nggak tenang. Kita makan sekarang, ya?”

“Aa saja deh yang makan, Neng males.”

“Nggak enak, Neng. Masa liatin  Aa makan. Makan bareng, ya. Mau Aa suapin?”

Hati yang  berselimut mendung, melihat jamuan tak berselera, lezatnya makanan terasa hambar di lidah, menelan pahit hidangan kesukaan. Tangan kanan bergerak, sesuap demi sesuap masuk ke mulut, tanpa di sadari tangan kiri tetap dalam saling menggenggam.

Rasa ini tak pernah aku undang, dia datang tanpa pandang bulu. Andai kau tak terlahir dari kalangan hartawan aku tetap dalam rasa ini. Aku tidak menyesali lara sekarang karena yakin akan ada pelangi setelah bumi di jatuhi percikan air. Asalkan kita masih dalam genggaman satu janji yang sama,  aku masih sanggup bertahan.

Lelakiku … aku jatuh hati padamu pada pandangan pertama, bersamanya rasa itu masih bertahan bahkan semakin dalam, desir aneh yang pertama kali menyapa sampai sekarang tetap ada, pipi merona setiap menyanjung masih ku alami, degup jantung yang menghentak kencang masih ku rasakan, membuncah rasa bahagia bila bersamanya. 

Rasa ini masih sama.



oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment