Di sepakati sebuah
tempat makan dengan konsep lesehan kami bertemu. Sebuah tempat makan yang
berdiri di area pesawahan, bulir padi sudah menguning, angin menyapanya menampilkan
tarian lembut, sang surya hadir tanpa ada keraguan memberikan sinarnya, terdengar
suara nyaring menghalau sang pencuri bersayap.
Kami saling membisu,
entah bagaimana memulai pembicaraan. Dari raut mukanya dapat kuartikan, ada
banyak pikiran yang sedang bersarang.
Makanan yang kami
pesan, tidak dapat mengubah keadaan, padahal yang terhidang menu kesukaan.
Lelakiku … sungguh aku
tak tega melihat aura kesedihannya. Dia menghela napas panjang seakan ada beban
yang menghimpit.
“Aa.” Aku memecah keheningan.
“Iya, Neng.” Pelan
nyaris tak terdengar, dapat kulihat netranya sedikit mengembun.
“Aa, kenapa? Cerita
sama Neng. Apa ini menyangkut restu?”
Dia tidak menjawab,
perlahan tangannya terulur meraih jari telunjukku yang berada di atas meja
lalu mengelusnya dengan lembut, persis
seperti dulu, tapi pandangan netranya melihat ke bawah.
“Aa, iya, 'kan?”
Dia tetap tidak
menjawab. Aku mendesah. Aku pegang jemarinya, elusannya terhenti, kutatap
wajahnya, dia pun akhirnya ikut menatap, tanpa terucap, aku pun sudah tahu
jawabannya. Melihat netranya yang bersemayam duka membuat netraku ikut mengembun.
Genggaman tangan kami semakin erat, ada kekhawatiran di sana.
“Neng, Aa pernah bilang
janji setia, kan waktu di perpustakaan?”
“Hhm.” Sulit bagiku
untuk mengeluarkan kata-kata. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.
“Janji adalah sumpah,
pantang bagi Aa melanggar sumpah. Tuhan memberikan ujian sama Aa, sebuah
pilihan yang sulit.”
Aku menunduk, embun
yang menggantung berubah menjadi isakkan. Pradugaku mengatakan ada perempuan
lain yang sudah dipilih orang tuanya.
Dada penuh dengan gumpalan, menghantam, membuat sulit bernapas sungguh sesak di
rasa.
“Neng, lihat Aa,
sayang.”
Aku menggeleng. Tak
sanggup harus melihatnya, takut ini pertemuan terakhir dengannya.
“Neng, kan sudah
menyanggupi mau berjuang bareng.”
Aku mengangguk.
Tangannya meremas lembut tangganku. Sebuah desir halus menyapa, masuk ke relung
kalbu tapi suka beriringan duka menghampiri, membuat raga tak bertenaga.
“Ingat waktu upacara
dulu waktu SMP? Lalu takdir kita bertemu lagi, kan? Ada tangan Allah di sana. Waktu
Aa di Magelang, nama Neng tak pernah absen dalam do’a sampai sekarang pun Aa selalu
minta, Neng wanita pertama dan terakhir yang mendampingi Aa. Aa yakin kalau
Neng jodoh Aa.”
Mengenang pertama kali
bertemu dan keyakinannya, membuat isakkan semakin menjadi. Tak kuasa menahan
lara aku tergugu, perlahan kutegakkan kepala, menatap sendu lelakiku.
“Aa minta, Neng bersabar. Kita sama-sama berdoa, ya. Udah
janji, 'kan?”
Aku kembali menunduk,
ketakutan menguasai diri, bukan tak mau menepati janji tapi sulit rasanya melawan kekuasaan, nyali
menciut, mengingat siapa aku.
“Neng, sayang … kanyaah
Aa, lihat ke sini geulis.”
Mendengar rayuannya aku
mendongkak.
“Berjuang bareng, ya?”
Sesaat kami saling
menatap, hening, hanya suara cicit burung dan desau angin yang meramaikan, ada
duka di sana tapi kedewasaannya
mengalihkan, dia tersenyum, senyum yang terlalu di paksakan. Aku mengangguk
ragu.
“Aa yakin orang tua Aa
suatu saat nanti hatinya akan mencair, restu itu pasti kita dapat, yakinlah,
Neng.”
Dia mencondongkan badan,
tangannya terulur, menghapus sisa air mata dengan ibu jari. Aku meremas
jemarinya, mencari kekuatan dalam setiap remasan.
“Jangan nangis lagi.
Nanti Aa pergi dinas ninggalin Neng, nggak tenang. Kita makan sekarang, ya?”
“Aa saja deh yang
makan, Neng males.”
“Nggak enak, Neng. Masa
liatin Aa makan. Makan bareng, ya. Mau
Aa suapin?”
Hati yang berselimut mendung, melihat jamuan tak
berselera, lezatnya makanan terasa hambar di lidah, menelan pahit hidangan kesukaan.
Tangan kanan bergerak, sesuap demi sesuap masuk ke mulut, tanpa di sadari
tangan kiri tetap dalam saling menggenggam.
Rasa ini tak pernah aku
undang, dia datang tanpa pandang bulu. Andai kau tak terlahir dari kalangan
hartawan aku tetap dalam rasa ini. Aku tidak menyesali lara sekarang karena
yakin akan ada pelangi setelah bumi di jatuhi percikan air. Asalkan kita masih
dalam genggaman satu janji yang sama, aku masih sanggup bertahan.
Lelakiku … aku jatuh
hati padamu pada pandangan pertama, bersamanya rasa itu masih bertahan bahkan
semakin dalam, desir aneh yang pertama kali menyapa sampai sekarang tetap ada,
pipi merona setiap menyanjung masih ku alami, degup jantung yang menghentak
kencang masih ku rasakan, membuncah rasa bahagia bila bersamanya.
Rasa ini masih sama.
Rasa ini masih sama.
oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment