Lewat tengah malam aku
pulang, hati dag dig dug bukan karena sedang merasakan debar jatuh cinta melainkan
perasaan bersalah. Dalam perjalanan pikiranku kalut, meskipun Rey mengajak berbincang
tapi tidak mengurangi keteganganku.
‘Apa yang akan aku
katakan padanya? Apakah dia akan marah?’
‘Tapi aku kan melakukan
ini karena dia, salah dia membiarkan istrinya sendirian pergi.’
‘Tetap saja ini salah,
Sya, bagaimana pun suamimu salah, kamu jangan membalasnya dengan kesalahan
lagi.’
‘Aku melakukan
kesalahan ‘kan ada andil dia juga di sana.’
Aku terus bermonolog
sendiri, mencari pembenaran atas tindakanku.
Rey meremas tanganku,
sesekali melirik ke arahku, pada saat mobil berhenti karena lampu merah, Rey menarik
tanganku lalu ….
Cup.
Aku yang sedang berpikir
keras mencari alasan, sontak kaget, langsung menarik tangan dan menolehnya
dengan tatapan tajam,
“Rey, please jangan
mulai lagi!” tegasku.
Dia tersenyum, “but you
like it, kan?” aku mendengkus sebal lalu
mengalihkan pandangan keluar jendela.
Aku suka? … ya mungkin,
tapi bukan dengan lelaki yang di sampingku, aku menginginkannya dengan lelaki
yang ada di rumah … ayahnya si kembar.
“Jangan marah,
Sya, aku hanya nggak ingin lihat kamu
khawatir begitu. Nanti aku bantu ngomong sama suamimu.”
“Tapi tidak dengan cara
tadi, Rey.”
“Sorry, Sya.”
Dia mengusap rambutku
pelan lalu beralih ke pipi, aku hentakan tangannya, dia malah terkekeh, aku
menatapnya jengah.
“Rey! Hentikan!”
“Lihat muka kamu tegang
gitu, Sya.”
Godaannya menyebalkan
tapi tak bisa kupungkiri aku menyukainya.
Mendekati rumah aku
ragu, haruskah Rey mengantar sampai rumah atau cukup sampai sini, aku semakin
takut menerima reaksinya, karena baru kali ini pulang lewat tengah malam dan pertama kali melakukan ciuman bukan
dengan suamiku.
Rasa bersalah semakin
menggunung, terus merutuki kebodohan sendiri, menghimpit dada semakin dalam.
"Rey, sudah cukup
sampai di sini nganternya!”
“Kenapa, Sya?”
“Aku … takut, Rey.”
“Sya, aku bukan
pengecut.”
“Tapi--.”
“Kita akan hadapi
bersama, nggak akan aku biarkan kamu dimarahi sendiri, ada aku penyebabnya..”
Dengan memberikan
senyuman, Rey memotong ucapanku, tentu aku tahu dia tak akan tega membiarkanku
jalan sendiri, sejauh yang aku kenal Rey orangnya sangat bertanggung jawab.
Mobil berhenti di depan
pagar rumah, aku menghela napas panjang, mempersiapkan mental. Rey meraih tanganku, mengelusnya dengan lembut. Memberikan
senyuman dengan tatapan teduh, mentransfer ketenangan, lalu menganggukkan
kepalanya, “ayo turun, aku belum selesai mengantarkan kamu.”
Aku turun dari mobil dengan
langkah kaki gemetar, melihat sekeliling, gelapnya semakin pekat, menengadah ke
atas, ternyata bintang malam ini tidak muncul, hanya suara binatang malam yang saling bersahutan, angin yang semakin mengigit
menusuk sampai ke tulang. Aku memeluk tubuhku sendiri, seketika aku merasa sudah
menjadi wanita rendahan, bagaimana bisa seorang wanita berstatus istri bisa
pulang lewat tengah malam diantar lai-laki yang bukan suaminya sendiri. Aku
meringis.
Sampai depan pintu,
memutar knop, berhenti sejenak, melirik laki-laki di samping, dia mengangguk
dan tersenyum. Mengumpulkan kekuatan aku mendorong daun pintu, lalu … mataku
menyipit, keningku berkerut, tak kudapati suamiku di ruang utama. Sambil
mengucapkan salam dan memanggilnya, aku masuk dengan perlahan.
“Tunggu di situ, Rey,
jangan masuk!”
Aku langsung mencari ke
ruang kerja, ternyata benar dia ada disana, anteng bersama benda kesayangannya.
“Ayah ….”
“Hei, sudah sampai. Naik
apa?”
“Diantar teman.”
“Oh … ya sudah, sana
tidur udah mau jam satu, lain kali mainnya jangan sampai larut begini.”
What … aku melengo
tidak percaya akan reaksinya. Selama perjalanan menghabiskan banyak pikiran mempersiapkan
kata-kata untuk menghadapinya, tapi ternyata sungguh di luar ekspetasi atas
sikapnya, antara lega dan kecewa muncul bersamaan.
“Ayah nggak mau ketemu
sama temen, Bunda dulu?”
“Nggak perlu, suruh
temannya cepet pulang kasihan udah malam banget.”
Aku menurunkan bahu,
menatap nanar pada laki-laki yang ku sebut suami.
Tadinya dalam
bayanganku, suamiku menunggu dengan harap cemas, berdiri di teras depan sambil
berdecak pinggang, mata melotot, mencecar dengan pertanyaan. Tapi kenyataannya
… sungguh dalam hati kecil adegan seperti itu yang aku harapkan.
Aku mendesah kecewa.
oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment