Aku memejamkan mata,
meresapi ketenangan, menikmati pelukannya.
“Seperti inilah yang
aku rindukan, sudah lama aku tidak mendapatkannya, hampir lupa bagaimana
rasanya.” Aku berkata lirih.
Dia terkekeh, kedua
tanggan yang kokoh semakin mengeratkan pelukan, aku memainkan rambut halus yang
berjejer rapi di tanggannya. Dia meringis, geli katanya, tapi aku suka memainkannya
… lembut. Aku bisa merasakan dagunya menempel pada atas kepalaku, “nyaman?”
Tanyanya.
“Hm.”
Aku suka dan aku menikmatinya.
Aku seorang ibu rumah
tangga, memiliki dua anak kembar, mereka baru masuk perguruan tinggi swasta di
ibu kota Jakarta dan ngekos di sana, tahun depan genap berusia empat puluh
tahun, sedangkan dia dua tahun di bawahku. Pertemuanku dengannya tanpa sengaja,
pada sebuah lift pertama kali kami bertemu.
“Makan siang?” dia membuka obrolan, dagunya menunjuk pada
sebuah rantang yang aku bawa.
“Tadinya, tapi tidak
jadi,” keluhku.
“Senasib,” katanya.
Ketika itu, aku hendak
mengantar makan siang ketempat kerja suamiku, tadinya ingin memberikan kejutan
tapi sialnya suamiku tidak ada di tempat. Pun dengannya ingin memberikan
kejutan makan siang dengan istrinya, tapi nasib tidak beruntung, istrinya tidak
ada waktu untuk sekedar makan siang dengan suaminya, pekerjaannya menuntut untuk segera diselesaikan.
Pada akhirnya obrolan
berlanjut di sebrang gedung, di sebuah taman kami duduk di bawah pohon rindang dan
masakankanku tidak sia-sia dibawa, makan siang bersama sambil menertawakan nasib masing-masing.
Kebetulankah? Aku rasa tidak, ini sudah takdir-Nya, bukankah tidak ada yang kebetulan dengan hidup ini.
Kebetulankah? Aku rasa tidak, ini sudah takdir-Nya, bukankah tidak ada yang kebetulan dengan hidup ini.
Di tempat ini kami
membuat janji untuk bertemu, sebuah kafe tempatnya bekerja. Istrinya pergi
dinas keluar kota, dan suamiku? Jangan ditanya, sudah jam sebelas malam, dia
tidak menanyakan keberadaanku, berkali-kali kuintip handphone, berharap dia
bertanya tapi sudah tiga jam di luar rumah, chat darinya tak muncul juga.
Mungkin masih berkutat dengan istri keduanya yang selalu dia jinjing, ya … dia
akan betah menghabiskan waktu berjam-jam bersama laptop kesayangannya, konyol
sekali aku cemburu pada sebuah benda, sedih? Aku sudah terbiasa.
Apakah hubungan kami
sudah sampai ranjang? Jawabannya tidak, atau belum? Entahlah. Kami mengalami
nasib yang sama, aku merasa di perhatikan dan dia merasa di butuhkan maka
itulah hubungan kami semakin erat.
‘Bagaimana hubungan
dengan suamimu, ada kemajuan?”
“Masih seperti kemarin
… stuck.”
“Berpikir positif saja,
mungkin dia sedang kejar target biar bisa bawa kamu honeymoon lagi. Siapa tahu
mau bikin kejutan honeymoonya ke luar negeri. Sudah dicoba saranku?”
“Sudah dan jawabannya
selalu sama … huft.”
Suamiku setahun setengah
belakang ini berubah, bila ada di rumah dia akan betah dengan pekerjaannya, hingga
dini hari jika aku protes dia akan
berkata,
“Ayah banyak kerjaan dikejar
deadline lagi pula sekarang kan banyak kebutuhan, anak-anak perlu biaya tidak
sedikit.”
Kami sudah mengarungi
rumah tangga dua puluh tahun, aku hapal sekali karakternya, aku yakin perubahan
sikapnya tidak ada sangkut pautnya dengan perempuan lain diantara kami, sekarang
seluruh hidupnya habis untuk pekerjaan bahkan terkadang di hari libur sekalipun
tak menyisakan waktu untukku … istrinya.
I want my life back …
aku ingin suamiku yang dulu, sebelum menduduki jabatan tinggi di kantornya.
Yang punya waktu untuk mendengarkan celotehanku, yang punya waktu untuk
becanda, yang punya waktu untuk jogging bersama, yang punya waktu untuk makan
malam berdua, sekarang kebiasaan pillow talk sebelum tidur pun ikut hilang.
Dan itu sangat
berpengaruh terhadap aktifitas kami di atas ranjang. Dulu setiap minggu kami
biasa melakukan tapi sekarang entah berapa purnama suamiku tahan untuk tidak
menyentuhku. Sudah aku coba saran dari berbagai pihak tapi berakhir dengan
penolakan dengan alasan cape.
Setelah mengenal lelaki
itu, hari-hari tidak berasa sepi, ada dia yang selalu memberikan semangat,
selalu mendengar keluh kesahku. Kehidupan pernikahannya sedang bermasalah,
istrinya yang bekerja siang hari sedangkan dia bekerja malam hari, bisa dihitung
berapa jam mereka bisa bertatap muka lebih lama setiap harinya. Pernikahannya
sudah berumur sebelas tahun dan belum di karuniai anak.
“Mengapa tidak kau
minta istrimu berhenti bekerja?”
“Dia tidak mau, katanya
jenuh di rumah terus.”
“Siapa tahu kalau
berhenti bekerja istrimu bisa hamil.”
“Istriku keras
kepala, susah dibelokkan pemahamannya.”
“Terus ke dokternya?”
“Percuma konsultasi ke
dokter kandungan hebat sekalipun kalau tidak di implementasikan, hasilnya
zero.”
Ini adalah bulan ke
delapan terhitung sejak pertemuan di lift gedung. Entah apa maksud takdir
mempertemukan kami, bertemu pada keadaan pernikahan masing-masing sedang tidak
sehat, aku belum bisa mendapatkan jawabannya. Kami hanya menjalani takdir,
untuk saat ini kami merasa nyaman, sebuah rasa yang baik untuk sebuah hubungan.
Entah berapa lama kami
dalam posisi seperti ini, aku merasakan kenyamanan, enggan untuk melepaskan
dekapannya. Suara musik terdengar lembut, mengalunkan melodi yang membuat
suasana semakin romantis. Hembusan nafasnya dapat kurasakan di belakang telinga
membuat rasa yang berbeda dan suara jantungkupun berdetak lebih kencang.
Dia membalikan badanku,
merapihkan rambut yang jatuh ke depan, tangannya mengangkat daguku, tatapan
matanya mampu membius. Aku terpaku, detak jantungku semakin tak berirama, kening
kami bersentuhan, aku pejamkan mata, aroma parfumnya dapat tercium … sangat
menggoda. Dia berbisik pada telingaku dapat kudengar nafasnya memburu.
“Ijinkan aku …,”
suaranya parau.
“Ini tidak benar, Rey,
ini sudah jauh,” cegahku.
“I know … please.”
Dia memohon, hati
berontak dan berkata jangan, sesaat berkelebatan wajah suami dan anak-anak tapi
tidak sejalan dengan reaksi tubuh. Nafas kami saling memburu, adegan
selanjutnya tidak dapat kami cegah, sentuhan ini … aku mendambanya sudah lama, aku membutuhkan dan menginginkannya, pagutan kami
terlepas berhenti karena kehabisan napas. Lalu terdengar dering suara dari
dalam tasku, aku buka ternyata suamiku menelepon. Aku menatapnya heran ‘benarkah
ini suamiku?’ tanyaku dalam benak, seketika aku tersadar dan langsung berdiri.
“Aku pulang.”
Dia memegang tanganku
menahan untuk pergi
“Ini sudah jam dua
belas malam lebih, Sya.”
“Antarkan aku pulang,
Rey.”
oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment