“Neng …”
“Hhmm.”
“Aa, pergi.”
Mata yang sedari tadi
sudah berembun memaksanya tuk keluar, tak ingin terlihat air itu jatuh di hadapannya,
kualihkan pandangan, sialnya air sudah tak kuat turun … jatuh, lalu … tak kuasa
di tahan … deras … berjalan cepat melewati pipi. Buku langsung aku simpan di
rak, berdeham, tarik nafas, berdeham lagi. Kuusap pipi yang basah dengan kedua
telapak tangan, memalukan sebenarnya ketahuan menangis. Tangan turun memegang
rok seragam, meremasnya.
Masih dalam keheningan,
aku berdehem lagi menelan saliva, mencoba bersikap biasa, tanpa di duga jari kelingkingnya
mengkaitkan ke jari kelingkingku.
Kaget
Tubuhku membeku ini adalah percakapan pertama yang terpanjang
dan sentuhan pertama. Jika bertemu dengannya wajahku selalu menghangat tapi
sekarang seluruh tubuh menghangat, ada yang menari-nari, menggelitik dalam
tubuh, bunga-bunga bermekaran lalu meredup sekaligus,
Jangan tanya bagaimana
suara di dada, dag dig dug, kencang melebihi suara bedug,
Gantian dia yang berdeham,
kaitan jari dilepas, dia memegang dan mengelus jari kelingkingku.
Deg.
Ya Tuhan, inikah
rasanya? Aku pejamkan mata, menikmati sentuhan lembutnya. Bagaimana rasanya?
Seperti berada di sebuah taman, di kelilingi jutaan berbagai jenis bunga, semerbak
wangi bunganya membuat terlena, apakah ini namanya
jatuh cinta?
Dia menoleh dan berkata,
“Udah, jangan nangis, aku pergi dulu.” Sambil tetap mengelus, aku tahu dia
mencoba untuk memberikan ketenangan. Aku langsung menoleh, tak rela harus
berakhir, menjawab pertanyaannya walau nyaris tak terdengar, “Iya A.”
Sentuhan terlepas,
saling melempar senyum, dia melangkah pergi, aku menunduk lesu, terdengar derap
langkahnya semakin jauh, kuputar kepala kekanan melihat dia pergi, tanpa di sangka
diapun melihat kearahku, tersenyum dengan gaya berjalannya yang tak pernah
pupus dalam ingatan. Sekarang aku yakin panah cupid sedang bekerja.
Itu adalah terakhir
kali bertemu dengannya di sekolah. Berkunjung ke perpustakaan tetap berjalan, mencoba
mencari penawar hati yang merindu, tapi itu malah menambah pilu, lalu
kuputuskan hanya berkunjung jika perlu. Tanpa di sadari, di sini … ada hati, sebuah
perasaan telah terbangun indah dan berdiri dengan megah.
Dari dulu tak ada
pernyataan ‘kita pacaran’ atau ‘kita jadian’ atau ‘kita sepasang kekasih’.
Dorongan pergi ke perpustakaan tanpa ada yang menyuruh, saling mencuri pandang
jika ada kesempatan, saling melempar senyuman jika berpapasan dan kaitan jari
kami itu sudah cukup menandakan bahwa
hati kami saling terpaut.
Dia bukanlah lelaki
yang banyak bicara, cenderung pendiam, mengungkapkan hanya seperlunya. Aku tahu
karakternya, setelah mendapatkan dua
kali selembar kertas, yang pertama ketika ucapan selamat ulang tahun, tak ada
puisi ataupun rayuan hanya ucapan ‘Selamat ulang tahun yang ke 16, semoga
panjang umur, sehat selalu dan sukses’, dengan sekuntum bunga yang aku tahu diambil
di depan perpustakaan, diselipkan diam-diam pada buku yang sedang aku baca.
Dan yang kedua selembar
kertas yang ditempelkan di mading sekolah dengan tulisan ‘Kenapa tidak datang, jangan
ngambek, kami ngerjain tugas kelompok, aku dan dia hanya teman,’ di bawahnya terdapat
huruf kecil dengan tulisan ‘Aa’. Tulisan itu ditempel setelah seminggu
sebelumnya aku mendapati dia sedang asyik berbincang dengan teman wanitanya di
perpustakaan. Aku mogok ke perpustakaan kala itu, selama seminggu tak
berkunjung. Kertas itu langsung mendapat banyak perhatian dan besoknya kertas
itu sudah berpindah tangan kepadaku.
Kedua kertas tersebut aku
jaga, tersimpan rapi pada sebuah buku bersampul biru. Jika teringat dia, aku
buka buku tersebut, diusap dan dibaca puluhan kali berharap rindu terobati,
bukannya sembuh melainkan rindu itu semakin menusuk tajam, setelahnya selalu
diakhiri dengan isakan, ternyata memendam rindu juga bisa sesakit ini.
oleh Neng sri
oleh Neng sri
No comments:
Post a Comment