[Mas, nanti ketemu di
tempat biasa, ya] Lalu emotikon cium dan love berjajar terkirim ke ponsel
suamiku.
Sebuah pesan singkat
dari sesorang yang bernama Bu Sukma, singkat tapi mampu memporak-porandakan dan
menghancurkan. Siapa dia yang berani mengirim emotikon seperti itu, hanya aku
yang boleh mengirimkannya, aku scrool ke bawah ternyata cukup banyak intensitas
percakapan dengannya.
Ponsel itu langsung
terjatuh, gemetar seluruh tubuh, kaki langsung lemas, tak bisa menopang tubuhku
langsung merosot ke lantai .. aku roboh ... duniaku runtuh. Tak kuat lagi untuk
membaca chat selanjutnya, aku takut kecurigaanku menjadi kenyataan.
Sebuah panggilan ‘Mas’ yang
membuat denyut nyeri di dada, itu artinya hubungan mereka terbilang cukup
akrab. Lalu deretan emotikon itu yang membuat dada seperti di tusuk ratusan
pedang … walaupun tak berdarah tapi mampu membuat aliran darahku terhenti … perih.
Mulut kututup dengan
kedua tangan sangat erat, tak ingin terdengar tangisan, langsung aku berlari
kebelakang rumah. Aku tahan tangisku agar tak bersuara, pikiranku kalut, ‘aku
harus bagaimana?’ tanyaku dalam benak.
Berulangkali aku
menelan saliva, dadaku berdetak tak beraturan, kembang kempis menahan amarah,
sedih dan kecewa, berdeham lagi dan lagi, mengatur pernapasan berharap sesak di
dada berkurang. Kuusap kasar pipi yang basah, aku harus bisa bersikap seperti
biasa, bukankah kejadian seperti ini sudah di prediksi sebelumnya.
Kubasuh mukaku
menghilangkan jejak air mata, mengucap istigfar berulang kali, dengan mengucap
Bismillah kulangkahkan kaki menuju kamar.
Kamar masih sepi, itu
tandanya Mas Sony belum selesai mandi. Aku mengambil kemeja dan celana panjang
tidak lupa mengambil dalaman baju dalam lemari kuletakkan di atas kasur, sebuah
rutinitas harian semenjak menikah. Mas Sony yang meminta aku memilih baju
kerjanya.
“Aku ingin tampil
sesuai keinginan istriku, Mas ingin menyenangkan bidadariku walaupun sepele
telihat,” begitu alasannya.
Tak lama kemudian Mas
Sony keluar dengan balutan handuk sepinggang dengan dada telanjang. Pahatan sempurna
bagi seorang laki-laki, mata elang, halis yang tebal, bibir kecil, rahang yang
kokoh, perut roti sobek, kulit coklat sawo matang, badan yang
tegap.
Tuhan … cinta itu sudah
hadir karena kegigihannya mendapatkanku, bukan karena semata fisik sempurna dan
wajah rupawan yang di milikinya. Aku duduk di tepi ranjang, membeku melihat
suamiku sendiri, menatap nanar dirinya seakan ini mimpi, bagaimana mungkin
cinta yang begitu besar selalu ditunjukan padaku ternyata menyimpan dusta.
“Kenapa memandang, Mas terus, Honey? Terkesima, ya,” candanya
sambil mencolek hidungku.
Honey … nama itu yang
selalu kau ucapkan bila memanggilku, romantis bukan suamiku? Perasaan perih
menjalar menguasai hati dan pikiran, tapi keengganan berpisah darinya lebih
besar, aku menghambur memelukya dari belakang. Aku kesampingkan rasa sakit, rasa
cintaku lebih besar daripada perih yang didera.
“Kenapa, Honey sakit?”
Tanyanya.
Aku menggeleng,
mendekapatnya erat sambil terisak, ‘hatiku yang sakit, Mas,’ batinku, entah apa
arti tangisanku, cinta dan benci sedang berperang. Aku pejamkan mata, meresapi harum
segar yang menguar, sudah enam tahun aku mengenali aroma tubuhnya, melekat
dalam penciumannku, sungguh aku tak rela jika punggung yang kokoh ini dipeluk
oleh wanita lain, aku tak rela perempuan lain mencium aroma tubuhnya, laki-laki
ini milikku … hanya milikku.
Badannya berbalik
menghadapku, memandang heran, aku tetap terisak dan menunduk, dia mengangkat
daguku.
Kutatap lekat manik
hitamnya, mencari di kedalaman matanya adakah diriku masih disana,
“Look at me, Honey. Ada
apa?” terlihat jelas kecemasannya, tapi cemas yang mana, cemas karena khawatir
aku sakit atau cemas khawatir kebohongannya di ketahui … entahlah.
Kembali aku mendekap
erat dirinya, “aku hanya kangen.” Lirihku.
Mas Sony semakin
mengeratkan dekapan, “tiap hari kan ketemu.”
“Tapi, Mas akhir-akhir
ini pulang larut malam terus.”
“Kan, Mas pernah bilang
sedang menjajaki bisnis dengan teman kerja.”
Air mata langsung
keluar mendengar kata teman kerja, ingin ku berondong pertanyaan, teman mana,
siapa namanya, laki-laki atau perempuan, dimana, kapan, bisnis apa … aarrgghh …
aku semakin terisak.
Aku mendongkak, menatap
wajahnya sesaat dan berpikir, ‘bagaimana caraku untuk mengalihkan perhatianmu
padaku lagi, Mas?’ aku bertanya pada diri sendiri, haruskah aku berpura-pura sakit
demi mendapatkanmu lagi. Dia menghapus pipiku yang basah karena air mata dengan
pandangannya yang sulit kuartikan.
“Hari ini aku ijin
nggak masuk kerja, nggak enak badan, Mas beres ngajar langsung pulang ya!”
Pintaku.
Mas Sony membisu,
menimbang mungkin karena sudah terlanjur janji bertemu dengan perempuan lain,
tapi akhirnya dia mau memenuhi permintaanku. Aku tersenyum getir, dia terpaksa atau
tidak aku tak peduli.
“Terima kasih, Mas.” Ucapku.
Kutempelkan kepala pada
dada bidangnya, memejamkan mata mendengar degup jantungnya. Di dalam sana aku
pastikan tidak akan ada perempuan lain yang bisa berdebar ketika melihatnya,
desiran halus yang memenuhi detaknya aku pastikan hanya karena aku bukan karena
perempuan lain.
“Hm.” Hanya itu yang
keluar dari mulutnya lalu mencium lama keningku.
Hening.
“Mau sampai kapan
pelukannya?” tanyanya dengan lembut.
“Nanti dulu, sebentar
lagi.” Jawabku.
“Nggak bisa kerja dong
kalau gini terus, mau bikin, Mas di tegur ya, hm?” Dia terkekeh sambil
menggelitikku.
“Bilang aja istrinya
sakit, pengen dikelonin.” Rengekku.
“Nggak bisa, Honey hari
ini ada sidang mahasiswa, Mas jadi pengujinya. Nanti pulang keja, Mas kelonin
plus plus, nanti, Mas bawain mie kocok yang di jalan Banteng atau yang di
lapangan Persib, ya.” Rayunya.
Kekasih … tingkahmu
seperti ini yang membuatku sulit percaya bahwa kau sedang bersandiwara.
Aku berjalan menuju
pintu, memegang knop pintu lalu membalikan badan melihatnya, terlintas dalam
pikiran bahwa kau akan menghubungi perempuan itu ketika aku keluar, memikirkannya
saja sudah membuat amarah, apalagi melihatnya … sakit.
Kekasih … kau dulu yang
berjuang gigih pantang menyerah untuk mendapatkanku, sekarang saatnya giliranku
yang akan berjuang mendapatkanmu lagi. Itu
tekadku.
oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment