Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Sunday, 24 November 2019

Kekasih #Part-2

cerpen,roman,novel.cerbung,literasi,kekasih,sepasang


[Mas, nanti ketemu di tempat biasa, ya] Lalu emotikon cium dan love berjajar terkirim ke ponsel suamiku.

Sebuah pesan singkat dari sesorang yang bernama Bu Sukma, singkat tapi mampu memporak-porandakan dan menghancurkan. Siapa dia yang berani mengirim emotikon seperti itu, hanya aku yang boleh mengirimkannya, aku scrool ke bawah ternyata cukup banyak intensitas percakapan dengannya.

Ponsel itu langsung terjatuh, gemetar seluruh tubuh, kaki langsung lemas, tak bisa menopang tubuhku langsung merosot ke lantai .. aku roboh ... duniaku runtuh. Tak kuat lagi untuk membaca chat selanjutnya, aku takut kecurigaanku menjadi kenyataan.

Sebuah panggilan ‘Mas’ yang membuat denyut nyeri di dada, itu artinya hubungan mereka terbilang cukup akrab. Lalu deretan emotikon itu yang membuat dada seperti di tusuk ratusan pedang … walaupun tak berdarah tapi mampu membuat aliran darahku terhenti … perih.


Mulut kututup dengan kedua tangan sangat erat, tak ingin terdengar tangisan, langsung aku berlari kebelakang rumah. Aku tahan tangisku agar tak bersuara, pikiranku kalut, ‘aku harus bagaimana?’ tanyaku dalam benak.

Berulangkali aku menelan saliva, dadaku berdetak tak beraturan, kembang kempis menahan amarah, sedih dan kecewa, berdeham lagi dan lagi, mengatur pernapasan berharap sesak di dada berkurang. Kuusap kasar pipi yang basah, aku harus bisa bersikap seperti biasa, bukankah kejadian seperti ini sudah di prediksi sebelumnya.

Kubasuh mukaku menghilangkan jejak air mata, mengucap istigfar berulang kali, dengan mengucap Bismillah kulangkahkan kaki menuju kamar.

Kamar masih sepi, itu tandanya Mas Sony belum selesai mandi. Aku mengambil kemeja dan celana panjang tidak lupa mengambil dalaman baju dalam lemari kuletakkan di atas kasur, sebuah rutinitas harian semenjak menikah. Mas Sony yang meminta aku memilih baju kerjanya.

“Aku ingin tampil sesuai keinginan istriku, Mas ingin menyenangkan bidadariku walaupun sepele telihat,” begitu alasannya.

Tak lama kemudian Mas Sony keluar dengan balutan handuk sepinggang dengan dada telanjang. Pahatan sempurna bagi seorang laki-laki, mata elang, halis yang tebal, bibir kecil, rahang yang kokoh, perut roti sobek, kulit coklat sawo matang, badan yang tegap.


Tuhan … cinta itu sudah hadir karena kegigihannya mendapatkanku, bukan karena semata fisik sempurna dan wajah rupawan yang di milikinya. Aku duduk di tepi ranjang, membeku melihat suamiku sendiri, menatap nanar dirinya seakan ini mimpi, bagaimana mungkin cinta yang begitu besar selalu ditunjukan padaku ternyata menyimpan dusta.

“Kenapa memandang, Mas terus, Honey? Terkesima, ya,”  candanya sambil mencolek hidungku.

Honey … nama itu yang selalu kau ucapkan bila memanggilku, romantis bukan suamiku? Perasaan perih menjalar menguasai hati dan pikiran, tapi keengganan berpisah darinya lebih besar, aku menghambur memelukya dari belakang. Aku kesampingkan rasa sakit, rasa cintaku lebih besar daripada perih yang didera.

“Kenapa, Honey sakit?” Tanyanya.

Aku menggeleng, mendekapatnya erat sambil terisak, ‘hatiku yang sakit, Mas,’ batinku, entah apa arti tangisanku, cinta dan benci sedang berperang. Aku pejamkan mata, meresapi harum segar yang menguar, sudah enam tahun aku mengenali aroma tubuhnya, melekat dalam penciumannku, sungguh aku tak rela jika punggung yang kokoh ini dipeluk oleh wanita lain, aku tak rela perempuan lain mencium aroma tubuhnya, laki-laki ini milikku … hanya milikku.

Badannya berbalik menghadapku, memandang heran, aku tetap terisak dan menunduk, dia mengangkat daguku.

Kutatap lekat manik hitamnya, mencari di kedalaman matanya adakah diriku masih disana,

“Look at me, Honey. Ada apa?” terlihat jelas kecemasannya, tapi cemas yang mana, cemas karena khawatir aku sakit atau cemas khawatir kebohongannya di ketahui … entahlah.

Kembali aku mendekap erat dirinya, “aku hanya kangen.” Lirihku.

Mas Sony semakin mengeratkan dekapan, “tiap hari kan ketemu.”

“Tapi, Mas akhir-akhir ini pulang larut malam terus.”

“Kan, Mas pernah bilang sedang menjajaki bisnis dengan teman kerja.”

Air mata langsung keluar mendengar kata teman kerja, ingin ku berondong pertanyaan, teman mana, siapa namanya, laki-laki atau perempuan, dimana, kapan, bisnis apa … aarrgghh … aku semakin terisak.

Aku mendongkak, menatap wajahnya sesaat dan berpikir, ‘bagaimana caraku untuk mengalihkan perhatianmu padaku lagi, Mas?’ aku bertanya pada diri sendiri, haruskah aku berpura-pura sakit demi mendapatkanmu lagi. Dia menghapus pipiku yang basah karena air mata dengan pandangannya yang sulit kuartikan.

“Hari ini aku ijin nggak masuk kerja, nggak enak badan, Mas beres ngajar langsung pulang ya!” Pintaku.

Mas Sony membisu, menimbang mungkin karena sudah terlanjur janji bertemu dengan perempuan lain, tapi akhirnya dia mau memenuhi permintaanku. Aku tersenyum getir, dia terpaksa atau tidak aku tak peduli.

 “Terima kasih, Mas.” Ucapku.

Kutempelkan kepala pada dada bidangnya, memejamkan mata mendengar degup jantungnya. Di dalam sana aku pastikan tidak akan ada perempuan lain yang bisa berdebar ketika melihatnya, desiran halus yang memenuhi detaknya aku pastikan hanya karena aku bukan karena perempuan lain.

“Hm.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya lalu mencium lama keningku.

Hening.

“Mau sampai kapan pelukannya?” tanyanya dengan lembut.

“Nanti dulu, sebentar lagi.” Jawabku.

“Nggak bisa kerja dong kalau gini terus, mau bikin, Mas di tegur ya, hm?” Dia terkekeh sambil menggelitikku.

“Bilang aja istrinya sakit, pengen dikelonin.” Rengekku.

“Nggak bisa, Honey hari ini ada sidang mahasiswa, Mas jadi pengujinya. Nanti pulang keja, Mas kelonin plus plus, nanti, Mas bawain mie kocok yang di jalan Banteng atau yang di lapangan Persib, ya.” Rayunya.

Kekasih … tingkahmu seperti ini yang membuatku sulit percaya bahwa kau sedang bersandiwara.

Aku berjalan menuju pintu, memegang knop pintu lalu membalikan badan melihatnya, terlintas dalam pikiran bahwa kau akan menghubungi perempuan itu ketika aku keluar, memikirkannya saja sudah membuat amarah, apalagi melihatnya … sakit.

Kekasih … kau dulu yang berjuang gigih pantang menyerah untuk mendapatkanku, sekarang saatnya giliranku yang akan berjuang mendapatkanmu lagi.  Itu tekadku. 



oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment